Friday, January 19, 2018

Reorganisasi


Reorganisasi



 Kantor Oei Tiong Ham Sebelah Kiri

Demi kemajuan perusahaannya, Oei Tiong Ham juga tercatat telah mempergunakan tenaga kerja orang-orang Belanda. baik di bidang tekhnik maupun di bidang management. Dan penggunaan tenaga kerja asing itu tidak hanya di sebabkan oleh karena pada waktu itu jumlah tenaga ahli Tionghoa masih kurang, namun juga dengan bertolak dari segi pertimbangan politik, karena dari segi itu penggunaan tenaga kerja orang Belanda tersebut dirasakan  bermanfaat.

Dalam hidupnya, Oei Tiong Ham mempunyai dua buah tujuan, yakni mengejar "kekayaan" dan "kekuasaan" dan untuk mencapainya ia telah memberanikan diri dengan melatih ahli-ahli spesialis dalam bidang perdagangan dan industri untuk kemudian menyatukan diri mereka itu dengan kongsi-nya. Ia telah mengirimkan para pemuda Tionghoa yang bertempat tinggal di pulau Jawa yang tajam otak ke Rotterdam dan Delft di Negri Belanda untuk mendapatkan latihan dalam ke dua bidang keahlian tersebut di atas dan sekembali  mereka di tanah air, mereka kemudian ditempatkan di pabrik gula dan tapioka yang dimilikinya, dimana mereka memberikan bantuan mengenai perlistrikan dan reorganisasi perusahaan-perusahaan tersebut,

Semasa hidupnya.  Oei Tiong Ham juga tercatat telah  pernah  mempelajari tata kerja dari   kartel  dan menyadari  benar bahwa sukses yang telah berhasil diperoleh perkumpulan dagang itu  tidak lain  hanyalah terletak  pada  masalah konsolidasi  dan    integrasi. Di jiwai oleh keinsyafannya itu, ia  kemudian mulai mengadakan   reorientasi   me­ngenai   urusan   perdagangannya  dengan    mendirikan gudang-gudang   khusus untuk menyimpan gula, yang diikutinya   dengan   mengadakan integrasi vertikal yang ekstensif dan dengan memperluas keberaniannya   beradu nasib   dalam kancah perdagangan gula. Organisasi pemasarannya  tidak  lagi  terbatas  pada segi  menjual hasil produksinya saja dan mengimport bahan yang diperlukan bagi perusahaan perusahaannya, namun juga membeli bahan mentah yang diperlukan oleh perusahaan perusahaannya, misalnya membeli karung goni dan pupuk. Untuk mengkordinasikan keuangan dari kongsi nya yang kian meluas, ia kemudian juga telah mendirikan sebuah bank bernama N.V. Bankvereeniging Oei Tiong Ham, sementara untuk menjamin fasilitas perkapalan ke Singapura dengan tidak tanggung-tanggung ia kemudian juga telah mendirikan sebuah perusahaan perkapalan dengan nama Heap Eng Moh Steamship Com­pany, yang di belakang hari lebih terkenal dengan nama Red Funnel Line.

Monday, September 25, 2017

Passen Stelsel

Lain dari itu perlu juga dicatat bahwa pada waktu itu di kalangan para pedagang Tionghoa tersebut juga ada keharusan untuk kemanapun mereka pergi selalu membawa “pas jalan" atau surat keterang jalan. Keharusan ini tidak lain merupakan pelaksaan dari suatu peraturan yg diadakan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1821 yang  terkenal dengan nama "passen stelsel  di mana ditetapkan bahwa setiap orang Tiongha harus membawa surat jalan yang  dinamakan "surat pas" ke manapun  mereka akan pergi.
Maksud diadakannya peraturan itu jelas sekali untuk membatasi pergerakan orang Tionghoa. Namun apakah peraturan itu belum cukup utk menjangkau tujuani yg hendak dicapainya hingga kemudian dirasa perlu utk menerbitkan suatu peraturan baru yang terkenal dengan nama "wijken stelsel".
Dengan  paraturan itu orang-orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bertempat tinggal  di sembarang tempat yang mereka inginkan. Mereka di haruskan mengelompok dalam suatu kawasan tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan oleh pemerintah.
Namun orang-orang Tionghoa di belakang hari tidak menghiraukan peraturan yang ditetapkan pada tahun 1871 itu. Banyak diantara mereka memandang peraturan itu tidak lebih hanya sebagai peraturannya. “Bevels bevel” kata mereka. Di luar Pecinan yg telah ditetapkan sebagai tempat tinggal resmi dari orang-orang Tionghoa mereka juga berani mengadakan tempat-tempat tinggal.
Pelanggaran ini tidak hanya terjadi di Betawi saja, tetapi juga di beberapa kota lain di pulau Jawa. Di kota Semarang misalnya kita melihat adanya orang-orang Tionghoa yang bertempat tinggal dikampung Melayu, hingga membikin warna kawasan itu sebagai tempat pemukiman beraneka suku bangsa kian majemuk.

Tuesday, February 23, 2016

Kelenteng



 Kelenteng Gang Pinggir

Bagi orang Tionghoa di kota Semarang pada waktu itu klenteng bukan main besar artinya. Sebuah klenteng tidak hanya mempunyai arti religi - sebagai tempat ibadah saja - tetapi juga mempunyai arti sosial, bahkan ekonomis - sebagai tempat penginapan bagi para pedagang dari luar kota yang sedang berniaga di kota Semarang.

Pada  masa  itu  ada kebiasaan begitu    para pedagang itu   di   Semarang     biasanya mereka langsung menuju ke klenteng  untuk  bersembahyang dan istirahat. Di tempat  itu pula  mereka  mengi nap   selama   mereka  melang sungkan perniagaannya.  Itu sebabnya pada   waktu   itu di   klenteng-klenteng  banyak terdapat   tikar   dan bantal  sebagai  persediaan  untuk  kepe luan para pedagang tersebut Mereka   tidak  suka    tidur di  dipan atau balai-balai sekali pun mungkin dipan atau balai2 itu  terdapat  di klenteng  di  mana  mereka    menginap. Mereka lebih, suka tidur  dengan  menggelar  tikar  karena  menurut  perasaan mereka: dengan cara demikian  mereka sekaligus  telah tirakat,  yakni  menirakati usaha mereka. Di samping itu dengan tidur di tikar mereka juga ingin menunjukkan  perasaan hormat mereka pada "beliau-beliau yang dipuja dalam klenteng di mana telah  menginap. Pendek kata dengan jalan tidur di atas tikar mereka ingin mengharapkan turunnya “berkah”. Tidak heran jika pada waktu itu sering terjadi banyak diantara mereka sampai memerlukan tidur di bawah meja sembahyang. Dengan  harapan untuk mendapatkan ba nyak sekali berkah!

Sekalipun pada waktu itu  ada diantara pengurus-pengurus klenteng yang kecuali menyediakan tikar dan bantal juga telah berbaik hati dengan sekaligus menyajikan teh bagi para tamu-tamunya, namun mereka sekali-kali tidak pernah memungut  bayaran dari para pedagang tersebut di atas. Sebagai tempat pe nginapan, pada waktu itu klenteng-klenteng di kota Semarang benar-benar merupakan hotel prodeo.

Untung para pedagang dari  luar kota itupun pada waktu itu ternyata juga pada tahu diri. Jika mereka akan berangkat pulang kembali ke kota asalnya, pada waktu itu ada kebiasaan dari mereka untuk .memberikan sumbangan pada klenteng di mana mereka telah menginap, berupa lilin, kertas sembahyanga, dupa  keperluan lagi yang dibutuhkan untuk upacara ibadah di klenteng-klenteng.

Pada masa awal tempo doeloe di kota Semarang sebenarnya sudah terdapat cukup banyak pedagang yang menjual berbagai macam makanan dan minuman, sekalipun demikian pada waktu itu para pedagang Tionghoa tersebut  di atas, boleh dikatakan jarang sekali yang nampak "jajan" di tempat-tempat serupa itu. Untuk keperluan makan mereka, biasanya mereka pada masak bubur sendiri di klenteng-klenteng di mana mereka telah menginap.

Perlu diketahui juga bahwa pada waktu itu sebenarnya berlaku sebuah prinsip bahwa sebuah klenteng terbuka bagi siapa saja yang berminat. Kendati demikian di kalangan  para pedagang Tionghoa dari luar kota pada waktu itu ada kebiasaan untuk menginap di diklenteng-klenteng familinya sendiri. Mereka yang berasal dari famili Kwee misalnya lebih suka menginap di klenteng Kwee Lak Kwa sementara mereka yang berasal dari famili Tan lebih suka pula untuk menginap di klenteng Tan Seng Ong di Sebandaran.

Wednesday, February 10, 2016

Kian Gwan


 Kian Gwan
Kecuali bergerak dalam bidang perdagangan candu, semasa hidupnya Oei Tiong Ham juga telah bergerak dalam cukup banyak bidang bidang perdagangan yang lain. Dan sekalipun benar bahwa ia telah mendapatkan demikian banyak laba dari perdagangan candu itu, namun cabang cabang perdagangan lain yg juga telah diusahakannya, tidak kurang pula arti pentingnya sebagai sumber mata air yang mengalirkan laba yang tidak putus-putusnya kekhazanah harta kekayaan nya.

Dari mendiang ayahnya — Oei Tjie Sien— Oei Tiong Ham telah mewarisi sebuah persekutuan dagang antar famili, yang di kalan an masyarakat Tionghoa lazim dinamakan "kongsi". dengan nama Kian Gwan artinya "Sumber dari segala kesejahteraan".

Sebelum mendirikan Kian Gwan. Oei Tjie Sien bergerak dalam bidang perdagangan barang-barang perniagaan yang dibutuhkan oleh orang orang Tionghoa di Tiongkok, diantaranya dengan mengeksport gula dan tembakau. Namun setelah Kian Gwan berdiri, Oei Tjie Sien kemudian bergerak dalam bidang perdagangan yang jauh lebih luas lagi, yakni dengan memimpin kongsinya bergerak dalam bidang perdagangan barang barang import yang dibutuhkan oleh orang-orang Tionghoa di Pecinan-Pecinan, mengusahakan pegadaian serta melakukan pula eksport gambir dan menyan, yang mana Kian Gwan telah berhasil merenggut banyak keuntungan.

Ketika Kian Gwan jatuh pimpinanannya ke tangan Oei Tiong Ham. maka kongsi itu telah berhasil berkembang dengan sangat pesatnya dan dari padanya Oei Tiong Ham telah banyak sekali mendapat keuntungan yang tiada ternilai besarnya. Sebagai seorang pedagang Oei Tiong Ham boleh dikatakan merupakan seorang wiraswasta yang sejati. Hal ini dapat dilihat dari politik yang telah dilakukannya selama ia memegang pucuk pimpinan Kian Gwan.

Oei Tiong Ham telah melanjutkan usaha ayahnya untuk memasukkan mereka yang tidak tergolong dalam rumpun familinya untuk mengurusi management dari kongsinya, sekalipun Kian Gwan merupakan sebuah kongsi famili, dan dengan usaha ini ia telah berhasil mendirikan cabang-cabang perusahaannya yang baru di Jakarta dan Surabaya.

Di samping itu ia juga dengan gigih telah menuntut mereka yang tidak mampu membayar utangnya ke pengadilan, dan dengan cara ini pula akhirnya ia telah berhasil memiliki tiga buah pabrik gula dalam beberapa tahun saja setelah ia memegang pucuk pimpinan Kian Gwan.

Thursday, December 17, 2015

Kapiten Orang Tionghoa

Kapiten Tan Thian Tjing

Sekarang lain soal: mengenai "kapiten-kapiten" Tionghoa Semarang  yang termasyhur itu. Tidak berbeda dengan di kota-kota-kota lain di pulau Jawa, pada masa awal tempo doeloe Pemerintah Belanda juga telah menunjung cukup banyak orang orang Tionghoa di kota Semarang untuk menjabat sebagai "pembesar" di kalangan mereka dengan pangkat 'luitenant', 'kapitein  atau majoor.
 
Jabatan-jabatan itu merupakan jabatan yang sangat terhormat di kalangan masyarakat Tionghoa. Lebih-lebih jabatan se¬orang "kapitein" atau seorang "majoor". Banyak pa¬ra hartawan Tionghoa pada masa itu sangat mendambakan bahwa sekali waktu dalam hidupnya bisa menduduki jabatan tersebut.
 
Karena merupakan kedudukan-kedudukan yang istimewa, sering timbul perkiraan bahwa pelantikan seseorang untuk menduduki jabatan-jabatan itupun tentunya juga akan dilakukan dengan penuh upacara, yang kecuali bersifat resmi tentunya juga akan sangat bersemarak dan piawai. Namun perkiraan semacam itu sebenarnya meleset. Dari laporan perjalanan yang pernah ditulis oleh Ong Tae Hae, seorang Tionghoa yang pada tahun 1783 pernah mengunjungi kota Semarang, justru dapat kita ketahui bahwa upacara pelantikan tersebut kendati diadakan dengan suatu perjamuan, namun sebenarnya hanya sederhana saja acaranya.
 
Menurut laporan itu, bilamana pada masa itu seorang Tionghoa; beruntung telah di tunjuk menjadi seorang kapitein, maka untuk keperluan pelantikannya dia akan mengadakan suatu upacara di rumahnya dengan mengundang sekian banyak para tamu terutama para koleganya.
 
Pada hari baik bulan baik dan saat baik yang telah ditentukan datanglah seorang penjabat Belanda ke rumahnya, di mana dia dan kawan-kawannya telah menunggu di ruang depan. Mereka segera menyambutnya dan menyilahkannya untuk memasuki ruang upacara yang telah dipersiapkan.
 
Di tengah-tengah ruangan dengan suara keras pejabat Belanda itu kemudian membaca kan  surat keputusan yang dibawanya. Dan sembari menuding ke arah langit dan bumi dia kemudian mengatakan: "Orang Tionghoa ini adalah orang  yang beradat, bijaksana dan mengetahui semua perkara, dan berdasarkan  pertimbangan itu semua dia telah di angkat menjadi  kapitein, Sidang hadirin sekalian, bagaimana pendapat anda sekalian mengenai pengangkatan ini?". "Amat bagus! Yang sebaik-baiknya” demikian tukas seorang dari para hadirin yang mengikuti jalannya pelantikan itu. Dengan. lantaran kata-kata itu pejabat Belanda itu kemudian memberikan ucapan selamat kepada para hadirin. Para tamu kemudian duduk di tempatnya masing-masing sementara penjabat Belanda itu kemudian berjalan bergandengan tangan dengan kapitein yanq baru saja dilantik itu. Untuk seterusnya duduk di tengah-tengah ruangan tempat upacara, yang berada di suatu tempat yang ada di suatu tempat yang bertangga.
 
Jadi sangat sederhana. Tiada setaraf dengan tingginya jabatan seorang kapitein dalam pandangan masyarakat Tionghoa di Semarang pada masa itu. Adat istiadat sebagaimana diceritakan oleh Ong Tae Hae tersebut terus dijunjung hingga puluhan tahun lamanya, tepatnya sampai pada tahun 1853. Semenjak saat itu pelantikan seorang kapitein Tionghoa di Semarang tidak lagi dilakukan di rumahnya sendiri, tetapi justru di Gang Lombok, di .dalam gedung Kong Tik Soe yang letaknya berada di sebelah kiri dari klenteng Tay Kak Sie, yang sebagian dari ruangannya di pergunakan sebagai kantor bagi para penjabat Tionghoa yang telah diangkat oleh Pemerintah Belanda.
 
Apa alasan perubahan adat istiadat tersebut  tidak dice¬ritakan oleh mendiang Liem Tian Joe dalam bukunya “Riwayat Semarang”. Dia hanya menerangkan bahwa mereka yang telah beruntung untuk pertama kalinya dinobatkan di tempat itu ternyata ada dua orang yakni kapitein Tan Tjong Hoay dari Gedong Gulo dan kapitein Be Biauw Tjoan  dari dinasti Kebon Dalem yang terkenal itu
 
Pada masa awal tempo doeloe boleh dikatakan hampir seluruh kapitein Tionghoa di kota Semarang merupakan para tokoh dalam bidang perdagangan. Karena menjadi “pachter” beberapa orang dari mereka berhasil muncul menjadi hartawan yang kaya raya. Dengan kekayaan itu mereka tidak hanya dapat membangun rumah-rumah tempat tinggalnya yang mewah tetapi juga dapat membangun dan memperbaiki kelenteng-kelenteng yang terletak di dekat “istana” mereka.

Saturday, October 31, 2015

Rumah dan Kekayaan

 Rumah Bhe Biauw Tjoan

Khusus mengenai langgam gayanya, barang tentu pada waktu itu rumah-rumah di Pecinan memiliki langam bangunan Tionghoa yang kuno, dengan bentuk wuwungan yang unik. Sementara pintu-pintunya dibuat spesial dari kayu jati yang tebal dan tua: nampak benar sangat kokoh dan kuat, sementara di sana sini ada pula yang memiliki pintu-pintu yang jauh lebih kuat lagi, karena memiliki kerangka yang spesial dibuat dari batu.
 
Kerangka pintu semacam itu tidak dibuat di Semarang, tapi didatangkan  khusus dari negeri leluhur. Tingginya kira-kira dua setengah me¬ter, sedangkan tebalnya sampai tiga puluh sentimeter. Untuk mendapatkannya tidaklah mudah dan .memerlukan banyak sekali biaya. Sekali-pun demikian para hartawan Tionghoa di kota Semarang pada masa itu tidak peduli soal kemahalan. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang asal bisa mendapatkannya, karena mereka beranggapan bahwa rumah-rumah yang dibuat dengan kokoh, dengan pintu-pintu yang kuat dan kekar semacam itu tak akan mudah runtuh, bertahan lama sampai anak cicit nya.
 
Mereka itu berpikir terlampau panjang, sampai anak cucu, buyut. cicit dan setahu apanja lagi akan didukung, dikumpul dalam satu rumah, demikian pernah dikatakan oleh mendiang Liong Djwan Liem dalam sebuah artikelnya mengenai kota Semarang pada tahun 1850-an. "Mereka rupanya tak pertjaja kepada keadilan Tuhan bahwa kemuliaan dan kekajaan tidak dapat dimonopoli turun temurun. Satu peribahasa Tionghoapun adalah: Pajung harus bergilir dipakai, kursipun harus bergilir diduduki. Tidik kurang, malah banjak gedung-gedung besar jang megah, belum sampai satu keturunan sudah jadi milik orang lain ....".
 
Manusia tetap manusia, tidak dapat digalang dalam satu kandang; manusia tetap manusia, satu orang satu pikiran tidak dapat didikte untuk menurut sadja kehendak orang lain kendatipun orang itu orang tua sendiri ....". "
 

Bahkan dengan "berkumpul dalam satu gedung" memudahkan timbulnja bibit pertikaian. Misalnja anak dengan anak, isteri dengan isteri, akhirnja petjahlah gabungan keluarga itu. Ini kurang disadari oleh orang Tionghoa zaman dahulu"!