Thursday, December 17, 2015

Kapiten Orang Tionghoa

Kapiten Tan Thian Tjing

Sekarang lain soal: mengenai "kapiten-kapiten" Tionghoa Semarang  yang termasyhur itu. Tidak berbeda dengan di kota-kota-kota lain di pulau Jawa, pada masa awal tempo doeloe Pemerintah Belanda juga telah menunjung cukup banyak orang orang Tionghoa di kota Semarang untuk menjabat sebagai "pembesar" di kalangan mereka dengan pangkat 'luitenant', 'kapitein  atau majoor.
 
Jabatan-jabatan itu merupakan jabatan yang sangat terhormat di kalangan masyarakat Tionghoa. Lebih-lebih jabatan se¬orang "kapitein" atau seorang "majoor". Banyak pa¬ra hartawan Tionghoa pada masa itu sangat mendambakan bahwa sekali waktu dalam hidupnya bisa menduduki jabatan tersebut.
 
Karena merupakan kedudukan-kedudukan yang istimewa, sering timbul perkiraan bahwa pelantikan seseorang untuk menduduki jabatan-jabatan itupun tentunya juga akan dilakukan dengan penuh upacara, yang kecuali bersifat resmi tentunya juga akan sangat bersemarak dan piawai. Namun perkiraan semacam itu sebenarnya meleset. Dari laporan perjalanan yang pernah ditulis oleh Ong Tae Hae, seorang Tionghoa yang pada tahun 1783 pernah mengunjungi kota Semarang, justru dapat kita ketahui bahwa upacara pelantikan tersebut kendati diadakan dengan suatu perjamuan, namun sebenarnya hanya sederhana saja acaranya.
 
Menurut laporan itu, bilamana pada masa itu seorang Tionghoa; beruntung telah di tunjuk menjadi seorang kapitein, maka untuk keperluan pelantikannya dia akan mengadakan suatu upacara di rumahnya dengan mengundang sekian banyak para tamu terutama para koleganya.
 
Pada hari baik bulan baik dan saat baik yang telah ditentukan datanglah seorang penjabat Belanda ke rumahnya, di mana dia dan kawan-kawannya telah menunggu di ruang depan. Mereka segera menyambutnya dan menyilahkannya untuk memasuki ruang upacara yang telah dipersiapkan.
 
Di tengah-tengah ruangan dengan suara keras pejabat Belanda itu kemudian membaca kan  surat keputusan yang dibawanya. Dan sembari menuding ke arah langit dan bumi dia kemudian mengatakan: "Orang Tionghoa ini adalah orang  yang beradat, bijaksana dan mengetahui semua perkara, dan berdasarkan  pertimbangan itu semua dia telah di angkat menjadi  kapitein, Sidang hadirin sekalian, bagaimana pendapat anda sekalian mengenai pengangkatan ini?". "Amat bagus! Yang sebaik-baiknya” demikian tukas seorang dari para hadirin yang mengikuti jalannya pelantikan itu. Dengan. lantaran kata-kata itu pejabat Belanda itu kemudian memberikan ucapan selamat kepada para hadirin. Para tamu kemudian duduk di tempatnya masing-masing sementara penjabat Belanda itu kemudian berjalan bergandengan tangan dengan kapitein yanq baru saja dilantik itu. Untuk seterusnya duduk di tengah-tengah ruangan tempat upacara, yang berada di suatu tempat yang ada di suatu tempat yang bertangga.
 
Jadi sangat sederhana. Tiada setaraf dengan tingginya jabatan seorang kapitein dalam pandangan masyarakat Tionghoa di Semarang pada masa itu. Adat istiadat sebagaimana diceritakan oleh Ong Tae Hae tersebut terus dijunjung hingga puluhan tahun lamanya, tepatnya sampai pada tahun 1853. Semenjak saat itu pelantikan seorang kapitein Tionghoa di Semarang tidak lagi dilakukan di rumahnya sendiri, tetapi justru di Gang Lombok, di .dalam gedung Kong Tik Soe yang letaknya berada di sebelah kiri dari klenteng Tay Kak Sie, yang sebagian dari ruangannya di pergunakan sebagai kantor bagi para penjabat Tionghoa yang telah diangkat oleh Pemerintah Belanda.
 
Apa alasan perubahan adat istiadat tersebut  tidak dice¬ritakan oleh mendiang Liem Tian Joe dalam bukunya “Riwayat Semarang”. Dia hanya menerangkan bahwa mereka yang telah beruntung untuk pertama kalinya dinobatkan di tempat itu ternyata ada dua orang yakni kapitein Tan Tjong Hoay dari Gedong Gulo dan kapitein Be Biauw Tjoan  dari dinasti Kebon Dalem yang terkenal itu
 
Pada masa awal tempo doeloe boleh dikatakan hampir seluruh kapitein Tionghoa di kota Semarang merupakan para tokoh dalam bidang perdagangan. Karena menjadi “pachter” beberapa orang dari mereka berhasil muncul menjadi hartawan yang kaya raya. Dengan kekayaan itu mereka tidak hanya dapat membangun rumah-rumah tempat tinggalnya yang mewah tetapi juga dapat membangun dan memperbaiki kelenteng-kelenteng yang terletak di dekat “istana” mereka.

No comments:

Post a Comment