Pecinan di Semarang terletak di tengah kota, di selatan pasar
tradisional, dan dibatasi oleh Sungai Semarang. Orang-orang Tionghoa mulai berdiam
di wilayah ini sejak abad ke-17 dan pemukiman menjadi stabil sejak akhir abad
ke-18. Wilayah ini menjadi padat ketika Pemerintah Hindia Belanda menerapkan
sistem Wiykenstelsel (undang-undang larangan pemukiman) pada tahun 1841
yang mengijinkan orang-prang Tionghoa untuk tinggal hanya di wilayan Pecinan.
dipisahkan dengan kelompok etnik yang lain (LieM, 1933:89). Ijin perjalanan
diperlukan ketika mereka keluar dari Pecinan. Oleh karena itu, Pecinan meluas
ke arah utara Sungai Semarang. Sebelum dihapuskannya Wiykenstelsel pada
tahun 1915, tidak ada satu pun orang Tionghoa yang tinggal di bagian lain di
kota kecuali di Pecinan.
Karena Pecinan merupakan satu-satunya tempat di mana orang-orang Tionghoa diijinkan tinggal, akibatnya menjadi sebuah wilayah yang sangat padat yang sampai saat ini orang akan sulit menemukan sepetak pun tanah kosong karena seluruh wilayah telah digunakan untuk kuil dan perumahan. Oleh karena itu, jalan-jalan tanpa pepohonan dan berdebu, wilayah yang padat, kurangnya selokan untuk saluran pembuangan limbah dan ruangan kosong mungkin merupakan karakteristik dari Pecinan di Semarang.
Populasi penduduk Tionghoa di Semarang jumlahnya meningkat hampir enam kali lipat di abad ini. dari 3.957 orang pada tahun 1832 menjadi 23.974 orang pada tahun 1929 (Flieringa, 1930: 158,169). Pada tahun 1955 ada sekitar 60.000 penduduk Tionghoa atau sepertiga dari seluruh populasi yang tinggal di Pecinan (Willmott, 1960: 9,12). Penduduk Tionghoa ini terbagi dalam enam kelompok bahasa menurut asal-usul mereka di Tionghoa. Pertama, kelompok Hokian yang datang sebelum abad ini dan kedudukan mereka beraneka ragam di semua bidang. Di antara mereka, 70% telah menjadi peranakan. Karena mereka telah tinggal di Semarang selama beberapa generasi, dan kebudayaan mereka telah teradaptasi oleh penduduk asli. Kedua, kelompok Hakka, yang kebanyakan berasal dari Kwantung-Mei Shien. Mereka berdagang peralatan rumah tangga di Jalan Pekojan dan Gang Pinggir. Ketiga, orang-orang Canton yang datang dari Canton, Maccao, dan daerah-daerah sekitarnya. Jumlah mereka sekitar 6% dan menjalankan industri kecil khususnya kayu dan furnitur di Sebandaran. Keempat, kelompok Hokchia, jumlah mereka 6 % dari seluruh penduduk Tionghoa. Mereka datang dari Fuching dan mereka berdagang tekstil dan tinggal di Gang Waning. Kelima, kelompok Henghua yang datang dari Piu Tien dan hanya sedikit jumlahnya, kurang lebih 500—600 orang. Mereka menjalankan bisnis toko sepeda dan . di Depok. Keenam, kelompok Hok Chiu, yaitu tukang emas di Kranggan dan Gang Pinggir. Kelompok terakhir ini adalah Hupei; mereka merupakan satu-satunya kelompok yang masih berbahasa mandarin. Hupei adalah para tukang gigi.1
1 1) Gambaran kelompok-kelompok bahasa ini dikutip dari Willmott,
1960:98-103.
No comments:
Post a Comment