Kelenteng Karang Turi
Orang Tionghoa telah berlayar dari Tiongkok Selatan ke pulau Jawa jauh sebelum orang Eropa berlayar ke Timur, sebelum kedatangan orang Portugis di kepulauan Nusantara di tahun 1511 (gambar 0.1). Menurut N.J.Krom, sedini abad 14 telah ada permukiman orang Tionghoa di pulau Jawa yang membentuk koloni kecil di pinggir pantai.1) Mereka mendarat pertama kali di sekitar Pantai Timurlaut Jawa Tengah yang sekaligus menjadi menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara (gambar 0.3).2)
Mereka datang ke pulau Jawa sebagai pedagang yang membawa porselain dan sutra untuk ditukar dengan beras dan hasil pertanian yang lain. Karena mereka datang ke pulau ini dengan perahu yang kecil dan tergantung oleh angin musim, mereka harus menunggu angin Utara agar dapat pulang ke kampung halaman. Selama waktu menunggu di Pulau Jawa inilah mereka sering terpikat oleh wanita setempat dan membangun keluarga. Lama kelamaan terbentuklah permukiman orang Tionghoa – disebut Pecinan – yang berdampingan dengan rumah atau kraton penguasa Pribumi.
Di abad 14 itu para pribumi masih beragama Hindu dan beribadah di candi. Sementara itu para pendatang dari Tiongkok menganut Konfusius, Budha,dan Tao dengan kelentengnya. Dua etnis ini hidup berdampingan dengan damai.
Di abad ke 15, agama Islam mulai tersebar di Pulau Jawa dan kebudayaan Hindu mengalami kemunduran. Bersama dengan itu muncul pedagang Pribumi yang hidup di daerah yang disebut sebagai Kauman dan terletak berdekatan dengan Pecinan. Di Timurlaut Jawa tengah Raden patah mendirikan kesultanannya diikuti dengan semakin banyaknya pengikut agama Islam. Tetapi orang Tionghoa tetap bertahan pada kebudayaannya. Walaupun kedua etnis ini memeluk agama yang berbeda, mereka tetap hidup berdampingan dengan damai.
1) CAREY, 1986: 86
2) VASANTI, dalam KOENTJARANINGRAT, 1990: 355
Mereka datang ke pulau Jawa sebagai pedagang yang membawa porselain dan sutra untuk ditukar dengan beras dan hasil pertanian yang lain. Karena mereka datang ke pulau ini dengan perahu yang kecil dan tergantung oleh angin musim, mereka harus menunggu angin Utara agar dapat pulang ke kampung halaman. Selama waktu menunggu di Pulau Jawa inilah mereka sering terpikat oleh wanita setempat dan membangun keluarga. Lama kelamaan terbentuklah permukiman orang Tionghoa – disebut Pecinan – yang berdampingan dengan rumah atau kraton penguasa Pribumi.
Di abad 14 itu para pribumi masih beragama Hindu dan beribadah di candi. Sementara itu para pendatang dari Tiongkok menganut Konfusius, Budha,dan Tao dengan kelentengnya. Dua etnis ini hidup berdampingan dengan damai.
Di abad ke 15, agama Islam mulai tersebar di Pulau Jawa dan kebudayaan Hindu mengalami kemunduran. Bersama dengan itu muncul pedagang Pribumi yang hidup di daerah yang disebut sebagai Kauman dan terletak berdekatan dengan Pecinan. Di Timurlaut Jawa tengah Raden patah mendirikan kesultanannya diikuti dengan semakin banyaknya pengikut agama Islam. Tetapi orang Tionghoa tetap bertahan pada kebudayaannya. Walaupun kedua etnis ini memeluk agama yang berbeda, mereka tetap hidup berdampingan dengan damai.
1) CAREY, 1986: 86
2) VASANTI, dalam KOENTJARANINGRAT, 1990: 355
No comments:
Post a Comment