Tuesday, February 3, 2015

Jaman Belanda

Kelenteng Dasun Lasem

Orang Belanda pertama datang di pulau ini tahun 1595-1596 setelah berlayar melewati semenanjung Harapan di Afrika Selatan. Mereka membeli rempah-rempah dan membawanya ke Eropa. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, didirikanlah V.O.C (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) di tahun 1602. 3) Markas VOC pertama kali didirikan di Ambon. Berhubung dengan semakin meluasnya wilayah yang dikuasai, markas tadi di pindahkan ke Jayakarta yang kemudian dinamai Batavia yang sekarang disebut Jakarta (gambar 0.2). Diawal abad 19 V.O.C mengalami kebangkrutan. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Hindia Belanda didirikan dengan ibukotanya Batavia. Pulau Jawa kemudian dibagi menjadi tiga bagian administratif: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di tahun 1740 pemerintah Belanda melarang kedatangan para imigran dari Tiongkok dan mereka yang tidak memiliki ijin kerja dideportasikan ke Ceylon dan semenanjung Harapan. Peraturan ini menciptakan keresahan dikalangan orang Tionghoa yang sering terkena pungli oleh pejabat Belanda. Untuk menghindari nasib yang semakin buruk, orang Tionghoa di Batavia mengadakan pemberontakan. Tentu saja dengan kekuatan tentara yang dilengkapi dengan bedil, Belanda dapat menindas pemberontakan ini.4) Sebagai akibatnya sekitar sepuluh ribu orang Tionghoa dibunuh dan dianiaya. Untuk menyelamatkan diri, banyak orang Tionghoa lari dari Batavia ke berbagai Pecinan di Timurlaut Jawa Tengah.
Walaupun demikian pembantaian ini tidak menghentikan migrasi orang Tionghoa dari Tiongkok Selatan ke pulau Jawa. Para pendatang baru ini adalah petani miskin yang gagal didalam perlawanannya terhadap pemerintahan Ching. Penduduk Tiongkok Selatan pada waktu itu selalu menganggap pemerintah Ching yang berasal dari Manchu sebagai penjajah tanah airnya. Sialnya di pulau Jawa belanda tidak mengijinkan mereka mengelola lahan pertanian di daerah pedesaan. Menghadapi keadaan yang dilematis ini, tiada jalan lain kecuali berdagang. 5)
Akibat tekanan dari pihak Belanda inilah yang menyebabkan setiap orang Tionghoa pada waktu itu bekerja sebagai pedagang perantara yang menjembatani para importir kulit putih dan Pribumi yang berdagang eceran di pasar. Selain itu orang Tionghoa ini juga berperan mengumpulkan hasil-hasil bumi dari daerah pedalaman dan menjualnya kepada para exporter kulit putih.
Di akhir abad ke 18, Belanda menjual hak untuk mengumpulkan pajak toll dan pasar kepada orang Tionghoa. Kepada para kapten Tionghoa juga diberi hak untuk menjual candu yang sebagian besar di konsumsi oleh masyarakat Pribumi.6) Di satu pihak pajak-pajak dan perdagangan candu menyengsarakan golongan Pribumi – yang setiap hari melewati gardu toll untuk menuju ke pasar dan banyak yang hidupnya tergantung dengan candu. Di lain pihak pajak-pajak dan perdagangan candu tadi memberikan kemakmuran kepada orang Tionghoa. Sebagai akibatnya tibul rasa permusuhan dari orang Pribumi terhadap orang Tionghoa, lebih dari pada rasa permusuhan terhadap orang Belanda. 7)
Walaupun di akhir abad ke 19 pengumpulan toll dan pajak diambil alih oleh pemerintah Belanda dan perdagangan candu dilarang, kedudukan orang Tionghoa sebagai pedagang perantara tetap memberikan perasaan permusuhan dari pihak Pribumi. Apalagi, posisi sebagai pedagang perantara ini semakin kuat hingga di abad ke 20.
Mereka (orang Tionghoa) merupakan golongan menengah antara Belanda yang menjadi golongan atas dan Pribumi yang berada di bawah. Bagi para pedagang Pribumi yang santri orang Tionghoa ini adalah saingan yang demikian kuat untuk dikalahkan. Akibat dari persaingan perdagangan inilah di tahun 1912 muncul kerusuhan anti Cina di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak saat itulah orang Tionghoa sebagai satu kelompok etnis minoritas menghadapi permusuhan dari kelompok etnis mayoritas Pribumi yang berbeda agama.
Selama pendudukan jepang, orang Belanda di internir kedalam kamp-kamp yang kondisinya sangat buruk sehingga banyak dari mereka yang meninggal dunia. Di tahun 1945 Republik Indonesia diproklamasikan dengan wilayah seluruh bekas jajahan Hindia Belanda. Setelah Perang Dunia kedua berakhir, orang Belanda yang bebas dari kamp tidak dapat kembali menguasai negeri dengan mudah. Mereka melancarkan perang agresi untuk merebut kembali kekuasaannya atas Indonesia. Melalui perjuangan yang gigih dari putraputra bangsa, akhirnya Belanda dengan terpaksa mengakui Indonesia yang merdeka di tahun 1949.
Orang Belanda yang telah hidup di Indonesia selama berabad-abad harus memilih apakah tetap tinggal di Indonesia sebagai Warga negara Indonesia atau pergi ke Belanda sebagai warga negara Belanda. Karena mereka kehilangan kedudukan yang penting dan ketakutan akan rasa permusuhan dari orang Indonesia, sebagian besar memilih untuk pergi ke Belanda. Rumah-rumah mereka diambil alih oleh pemerintah Indonesia dipergunakan sebagai kantor pemerintahan, militer atau dibiarkan kosong.


3) MULJANA, 1968, pp 254 dan OUD-ALBLAS, 1986

4) LIEM, 1933: 29-30.

5) ONG dalam TAN 1979: 30 - 39

6) CAREY, 1986: 65.

7) CAREY, 1986: 7-8

No comments:

Post a Comment