Kelenteng Dasun Lasem
Orang Belanda pertama datang
di pulau ini tahun 1595-1596 setelah berlayar melewati semenanjung Harapan di
Afrika Selatan. Mereka membeli rempah-rempah dan membawanya ke Eropa. Untuk
menghindari persaingan di antara mereka, didirikanlah V.O.C (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) di
tahun 1602. 3)
Markas VOC pertama kali didirikan di Ambon. Berhubung dengan semakin meluasnya
wilayah yang dikuasai, markas tadi di pindahkan ke Jayakarta yang kemudian
dinamai Batavia yang sekarang disebut Jakarta (gambar 0.2). Diawal abad 19
V.O.C mengalami kebangkrutan. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Hindia
Belanda didirikan dengan ibukotanya Batavia. Pulau Jawa
kemudian dibagi menjadi tiga bagian administratif: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Di tahun 1740 pemerintah Belanda melarang kedatangan para
imigran dari Tiongkok dan mereka yang tidak memiliki ijin kerja dideportasikan
ke Ceylon dan semenanjung Harapan. Peraturan ini menciptakan keresahan dikalangan orang Tionghoa yang sering
terkena pungli oleh pejabat Belanda. Untuk menghindari nasib yang semakin
buruk, orang Tionghoa di Batavia mengadakan pemberontakan. Tentu saja dengan
kekuatan tentara yang dilengkapi dengan bedil, Belanda dapat menindas
pemberontakan ini.4) Sebagai akibatnya
sekitar sepuluh ribu orang Tionghoa dibunuh dan dianiaya. Untuk menyelamatkan
diri, banyak orang Tionghoa lari dari Batavia ke berbagai Pecinan di Timurlaut
Jawa Tengah.
Walaupun demikian pembantaian
ini tidak menghentikan migrasi orang Tionghoa dari Tiongkok Selatan ke pulau
Jawa. Para pendatang baru ini adalah petani miskin yang gagal didalam
perlawanannya terhadap pemerintahan Ching. Penduduk Tiongkok Selatan pada waktu
itu selalu menganggap pemerintah Ching yang berasal dari Manchu sebagai
penjajah tanah airnya. Sialnya di pulau Jawa belanda tidak mengijinkan mereka
mengelola lahan pertanian di daerah pedesaan. Menghadapi keadaan yang dilematis
ini, tiada jalan lain kecuali berdagang. 5)
Akibat tekanan dari pihak Belanda inilah yang menyebabkan
setiap orang Tionghoa pada waktu itu bekerja sebagai pedagang perantara yang
menjembatani para importir kulit putih dan Pribumi yang berdagang eceran di
pasar. Selain itu orang Tionghoa ini juga berperan mengumpulkan hasil-hasil
bumi dari daerah pedalaman dan menjualnya kepada para exporter kulit putih.
Di akhir abad ke 18, Belanda menjual hak untuk mengumpulkan
pajak toll dan pasar kepada orang Tionghoa. Kepada para kapten Tionghoa juga
diberi hak untuk menjual candu yang sebagian besar di konsumsi oleh masyarakat Pribumi.6) Di satu pihak pajak-pajak dan
perdagangan candu menyengsarakan golongan Pribumi – yang setiap hari melewati
gardu toll untuk menuju ke pasar dan banyak yang hidupnya tergantung dengan
candu. Di lain pihak pajak-pajak dan perdagangan candu tadi memberikan
kemakmuran kepada orang Tionghoa. Sebagai akibatnya tibul rasa permusuhan dari
orang Pribumi terhadap orang Tionghoa, lebih dari pada rasa permusuhan terhadap
orang Belanda. 7)
Walaupun di akhir abad ke 19 pengumpulan toll dan pajak
diambil alih oleh pemerintah Belanda dan perdagangan candu dilarang, kedudukan
orang Tionghoa sebagai pedagang perantara tetap memberikan perasaan permusuhan
dari pihak Pribumi. Apalagi, posisi sebagai pedagang perantara ini semakin kuat
hingga di abad ke 20.
Mereka (orang Tionghoa) merupakan golongan menengah antara
Belanda yang menjadi golongan atas dan Pribumi yang berada di bawah. Bagi para
pedagang Pribumi yang santri orang Tionghoa ini adalah saingan yang demikian
kuat untuk dikalahkan. Akibat dari persaingan perdagangan inilah di tahun 1912
muncul kerusuhan anti Cina di beberapa kota
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak saat itulah orang Tionghoa sebagai satu
kelompok etnis minoritas menghadapi permusuhan dari kelompok etnis mayoritas Pribumi
yang berbeda agama.
Selama pendudukan jepang, orang Belanda di internir kedalam
kamp-kamp yang kondisinya sangat buruk sehingga banyak dari mereka yang
meninggal dunia. Di tahun
1945 Republik Indonesia diproklamasikan dengan wilayah seluruh bekas jajahan
Hindia Belanda. Setelah Perang Dunia kedua berakhir, orang Belanda yang bebas
dari kamp tidak dapat kembali menguasai negeri dengan mudah. Mereka melancarkan perang agresi untuk merebut kembali kekuasaannya
atas Indonesia.
Melalui perjuangan yang gigih dari putraputra bangsa, akhirnya Belanda dengan
terpaksa mengakui Indonesia
yang merdeka di tahun 1949.
Orang Belanda yang telah hidup di Indonesia selama
berabad-abad harus memilih apakah tetap tinggal di Indonesia sebagai Warga
negara Indonesia atau pergi ke Belanda sebagai warga negara Belanda. Karena
mereka kehilangan kedudukan yang penting dan ketakutan akan rasa permusuhan
dari orang Indonesia, sebagian besar memilih untuk pergi ke Belanda.
Rumah-rumah mereka diambil alih oleh pemerintah Indonesia dipergunakan sebagai
kantor pemerintahan, militer atau dibiarkan kosong.
No comments:
Post a Comment