Lain dari itu perlu juga dicatat bahwa pada waktu itu di kalangan para pedagang Tionghoa tersebut juga ada keharusan untuk kemanapun mereka pergi selalu membawa “pas jalan" atau surat keterang jalan. Keharusan ini tidak lain merupakan pelaksaan dari suatu peraturan yg diadakan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1821 yang terkenal dengan nama "passen stelsel di mana ditetapkan bahwa setiap orang Tiongha harus membawa surat jalan yang dinamakan "surat pas" ke manapun mereka akan pergi.
Maksud diadakannya peraturan itu jelas sekali untuk membatasi pergerakan orang Tionghoa. Namun apakah peraturan itu belum cukup utk menjangkau tujuani yg hendak dicapainya hingga kemudian dirasa perlu utk menerbitkan suatu peraturan baru yang terkenal dengan nama "wijken stelsel".
Dengan paraturan itu orang-orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bertempat tinggal di sembarang tempat yang mereka inginkan. Mereka di haruskan mengelompok dalam suatu kawasan tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan oleh pemerintah.
Dengan paraturan itu orang-orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bertempat tinggal di sembarang tempat yang mereka inginkan. Mereka di haruskan mengelompok dalam suatu kawasan tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan oleh pemerintah.
Namun orang-orang Tionghoa di belakang hari tidak menghiraukan peraturan yang ditetapkan pada tahun 1871 itu. Banyak diantara mereka memandang peraturan itu tidak lebih hanya sebagai peraturannya. “Bevels bevel” kata mereka. Di luar Pecinan yg telah ditetapkan sebagai tempat tinggal resmi dari orang-orang Tionghoa mereka juga berani mengadakan tempat-tempat tinggal.
Pelanggaran ini tidak hanya terjadi di Betawi saja, tetapi juga di beberapa kota lain di pulau Jawa. Di kota Semarang misalnya kita melihat adanya orang-orang Tionghoa yang bertempat tinggal dikampung Melayu, hingga membikin warna kawasan itu sebagai tempat pemukiman beraneka suku bangsa kian majemuk.
No comments:
Post a Comment