Tuesday, February 23, 2016

Kelenteng



 Kelenteng Gang Pinggir

Bagi orang Tionghoa di kota Semarang pada waktu itu klenteng bukan main besar artinya. Sebuah klenteng tidak hanya mempunyai arti religi - sebagai tempat ibadah saja - tetapi juga mempunyai arti sosial, bahkan ekonomis - sebagai tempat penginapan bagi para pedagang dari luar kota yang sedang berniaga di kota Semarang.

Pada  masa  itu  ada kebiasaan begitu    para pedagang itu   di   Semarang     biasanya mereka langsung menuju ke klenteng  untuk  bersembahyang dan istirahat. Di tempat  itu pula  mereka  mengi nap   selama   mereka  melang sungkan perniagaannya.  Itu sebabnya pada   waktu   itu di   klenteng-klenteng  banyak terdapat   tikar   dan bantal  sebagai  persediaan  untuk  kepe luan para pedagang tersebut Mereka   tidak  suka    tidur di  dipan atau balai-balai sekali pun mungkin dipan atau balai2 itu  terdapat  di klenteng  di  mana  mereka    menginap. Mereka lebih, suka tidur  dengan  menggelar  tikar  karena  menurut  perasaan mereka: dengan cara demikian  mereka sekaligus  telah tirakat,  yakni  menirakati usaha mereka. Di samping itu dengan tidur di tikar mereka juga ingin menunjukkan  perasaan hormat mereka pada "beliau-beliau yang dipuja dalam klenteng di mana telah  menginap. Pendek kata dengan jalan tidur di atas tikar mereka ingin mengharapkan turunnya “berkah”. Tidak heran jika pada waktu itu sering terjadi banyak diantara mereka sampai memerlukan tidur di bawah meja sembahyang. Dengan  harapan untuk mendapatkan ba nyak sekali berkah!

Sekalipun pada waktu itu  ada diantara pengurus-pengurus klenteng yang kecuali menyediakan tikar dan bantal juga telah berbaik hati dengan sekaligus menyajikan teh bagi para tamu-tamunya, namun mereka sekali-kali tidak pernah memungut  bayaran dari para pedagang tersebut di atas. Sebagai tempat pe nginapan, pada waktu itu klenteng-klenteng di kota Semarang benar-benar merupakan hotel prodeo.

Untung para pedagang dari  luar kota itupun pada waktu itu ternyata juga pada tahu diri. Jika mereka akan berangkat pulang kembali ke kota asalnya, pada waktu itu ada kebiasaan dari mereka untuk .memberikan sumbangan pada klenteng di mana mereka telah menginap, berupa lilin, kertas sembahyanga, dupa  keperluan lagi yang dibutuhkan untuk upacara ibadah di klenteng-klenteng.

Pada masa awal tempo doeloe di kota Semarang sebenarnya sudah terdapat cukup banyak pedagang yang menjual berbagai macam makanan dan minuman, sekalipun demikian pada waktu itu para pedagang Tionghoa tersebut  di atas, boleh dikatakan jarang sekali yang nampak "jajan" di tempat-tempat serupa itu. Untuk keperluan makan mereka, biasanya mereka pada masak bubur sendiri di klenteng-klenteng di mana mereka telah menginap.

Perlu diketahui juga bahwa pada waktu itu sebenarnya berlaku sebuah prinsip bahwa sebuah klenteng terbuka bagi siapa saja yang berminat. Kendati demikian di kalangan  para pedagang Tionghoa dari luar kota pada waktu itu ada kebiasaan untuk menginap di diklenteng-klenteng familinya sendiri. Mereka yang berasal dari famili Kwee misalnya lebih suka menginap di klenteng Kwee Lak Kwa sementara mereka yang berasal dari famili Tan lebih suka pula untuk menginap di klenteng Tan Seng Ong di Sebandaran.

No comments:

Post a Comment