Kelenteng Gang Pinggir
Bagi orang Tionghoa di kota Semarang pada waktu itu klenteng bukan main besar artinya. Sebuah klenteng tidak hanya mempunyai arti religi - sebagai tempat ibadah saja - tetapi juga mempunyai arti sosial, bahkan ekonomis - sebagai tempat penginapan bagi para pedagang dari luar kota yang sedang berniaga di kota Semarang.
Pada masa itu ada kebiasaan begitu para pedagang itu di Semarang biasanya mereka langsung menuju ke klenteng untuk bersembahyang dan istirahat. Di tempat itu pula mereka mengi nap selama mereka melang sungkan perniagaannya. Itu sebabnya pada waktu itu di klenteng-klenteng banyak terdapat tikar dan bantal sebagai persediaan untuk kepe luan para pedagang tersebut Mereka tidak suka tidur di dipan atau balai-balai sekali pun mungkin dipan atau balai2 itu terdapat di klenteng di mana mereka menginap. Mereka lebih, suka tidur dengan menggelar tikar karena menurut perasaan mereka: dengan cara demikian mereka sekaligus telah tirakat, yakni menirakati usaha mereka. Di samping itu dengan tidur di tikar mereka juga ingin menunjukkan perasaan hormat mereka pada "beliau-beliau yang dipuja dalam klenteng di mana telah menginap. Pendek kata dengan jalan tidur di atas tikar mereka ingin mengharapkan turunnya “berkah”. Tidak heran jika pada waktu itu sering terjadi banyak diantara mereka sampai memerlukan tidur di bawah meja sembahyang. Dengan harapan untuk mendapatkan ba nyak sekali berkah!
Sekalipun pada waktu itu ada diantara pengurus-pengurus klenteng yang kecuali menyediakan tikar dan bantal juga telah berbaik hati dengan sekaligus menyajikan teh bagi para tamu-tamunya, namun mereka sekali-kali tidak pernah memungut bayaran dari para pedagang tersebut di atas. Sebagai tempat pe nginapan, pada waktu itu klenteng-klenteng di kota Semarang benar-benar merupakan hotel prodeo.
Untung para pedagang dari luar kota itupun pada waktu itu ternyata juga pada tahu diri. Jika mereka akan berangkat pulang kembali ke kota asalnya, pada waktu itu ada kebiasaan dari mereka untuk .memberikan sumbangan pada klenteng di mana mereka telah menginap, berupa lilin, kertas sembahyanga, dupa keperluan lagi yang dibutuhkan untuk upacara ibadah di klenteng-klenteng.
Pada masa awal tempo doeloe di kota Semarang sebenarnya sudah terdapat cukup banyak pedagang yang menjual berbagai macam makanan dan minuman, sekalipun demikian pada waktu itu para pedagang Tionghoa tersebut di atas, boleh dikatakan jarang sekali yang nampak "jajan" di tempat-tempat serupa itu. Untuk keperluan makan mereka, biasanya mereka pada masak bubur sendiri di klenteng-klenteng di mana mereka telah menginap.
Perlu diketahui juga bahwa pada waktu itu sebenarnya berlaku sebuah prinsip bahwa sebuah klenteng terbuka bagi siapa saja yang berminat. Kendati demikian di kalangan para pedagang Tionghoa dari luar kota pada waktu itu ada kebiasaan untuk menginap di diklenteng-klenteng familinya sendiri. Mereka yang berasal dari famili Kwee misalnya lebih suka menginap di klenteng Kwee Lak Kwa sementara mereka yang berasal dari famili Tan lebih suka pula untuk menginap di klenteng Tan Seng Ong di Sebandaran.
Pada masa itu ada kebiasaan begitu para pedagang itu di Semarang biasanya mereka langsung menuju ke klenteng untuk bersembahyang dan istirahat. Di tempat itu pula mereka mengi nap selama mereka melang sungkan perniagaannya. Itu sebabnya pada waktu itu di klenteng-klenteng banyak terdapat tikar dan bantal sebagai persediaan untuk kepe luan para pedagang tersebut Mereka tidak suka tidur di dipan atau balai-balai sekali pun mungkin dipan atau balai2 itu terdapat di klenteng di mana mereka menginap. Mereka lebih, suka tidur dengan menggelar tikar karena menurut perasaan mereka: dengan cara demikian mereka sekaligus telah tirakat, yakni menirakati usaha mereka. Di samping itu dengan tidur di tikar mereka juga ingin menunjukkan perasaan hormat mereka pada "beliau-beliau yang dipuja dalam klenteng di mana telah menginap. Pendek kata dengan jalan tidur di atas tikar mereka ingin mengharapkan turunnya “berkah”. Tidak heran jika pada waktu itu sering terjadi banyak diantara mereka sampai memerlukan tidur di bawah meja sembahyang. Dengan harapan untuk mendapatkan ba nyak sekali berkah!
Sekalipun pada waktu itu ada diantara pengurus-pengurus klenteng yang kecuali menyediakan tikar dan bantal juga telah berbaik hati dengan sekaligus menyajikan teh bagi para tamu-tamunya, namun mereka sekali-kali tidak pernah memungut bayaran dari para pedagang tersebut di atas. Sebagai tempat pe nginapan, pada waktu itu klenteng-klenteng di kota Semarang benar-benar merupakan hotel prodeo.
Untung para pedagang dari luar kota itupun pada waktu itu ternyata juga pada tahu diri. Jika mereka akan berangkat pulang kembali ke kota asalnya, pada waktu itu ada kebiasaan dari mereka untuk .memberikan sumbangan pada klenteng di mana mereka telah menginap, berupa lilin, kertas sembahyanga, dupa keperluan lagi yang dibutuhkan untuk upacara ibadah di klenteng-klenteng.
Pada masa awal tempo doeloe di kota Semarang sebenarnya sudah terdapat cukup banyak pedagang yang menjual berbagai macam makanan dan minuman, sekalipun demikian pada waktu itu para pedagang Tionghoa tersebut di atas, boleh dikatakan jarang sekali yang nampak "jajan" di tempat-tempat serupa itu. Untuk keperluan makan mereka, biasanya mereka pada masak bubur sendiri di klenteng-klenteng di mana mereka telah menginap.
Perlu diketahui juga bahwa pada waktu itu sebenarnya berlaku sebuah prinsip bahwa sebuah klenteng terbuka bagi siapa saja yang berminat. Kendati demikian di kalangan para pedagang Tionghoa dari luar kota pada waktu itu ada kebiasaan untuk menginap di diklenteng-klenteng familinya sendiri. Mereka yang berasal dari famili Kwee misalnya lebih suka menginap di klenteng Kwee Lak Kwa sementara mereka yang berasal dari famili Tan lebih suka pula untuk menginap di klenteng Tan Seng Ong di Sebandaran.
No comments:
Post a Comment