Monday, February 2, 2015

Antara Pecinan dan Simpang Lima Kota Semarang



Pecinan di Semarang tidak didirikan berbatasan dengan pantai yang berombak dan menyulitkan penambatan perahu. Sebaliknya berada di perairan sungai yang tenang didekat muara. Ong King Hong waktu membangun Pecinan (permukiman Tionghoa) di Simongan berada di tepi sungai Garang dengan dilatar belakangi perbukitan. Demikian pula waktu orang Tionghoa dipindahkan ke area pecinan yang sekarang. Walaupun area yang mereka tempati merupakan dataran rendah dengan dikelilingi kali Semarang, mereka membangun deretan rumah-rumah yang pertama di tepi sungai dan di tengahnya kolam yang disebut Bale Kambang. Di tahun 1924 tatkala Belanda akan menutup kolam ini karena dianggap sebagai sarang nyamuk orang-orang Tionghoa pada waktu itu protes, hasilnya justru Belanda membuat parit disepanjang jalan di Pecinan sehingga air kolam tadi mengalir. Sekarang kolam ini sudah tidak ada bekasnya. Sejak tahun 1966 bale kambang ditutup dan diatasnya didirikan  gudang. Tetapi, bukan berarti bahwa penduduk didaerah ini tidak percaya lagi dengan Fengshui. Mereka tetap berusaha menangkal Sha dengan memasang berbagai jimat di pintu.

Walaupun permukiman ini tumbuh secara organik dan tanpa perencanaan awal, tetapi karena semuanya menganut prinsip-prinsip fengshui, kita temui disini tidak ada simpang empat yang besar. Simpang empat yang terjadi hanyalah disepanjang Gang Cilik yang sebenarnya menjadi jalan yang dipakai sebagai jalan tembus saja. Sedang dijalan-jalan yang lain yang ada adalah simpang tiga dan diujung as jalan adalah kelenteng. Kelengteng ini dimaksudkan untuk menjaga permukiman yang ada di sepanjang jalan didepannya. Jadi dia bagaikan penjaga siang malam dari lingkungan ini untuk memberikan banyak keselamatan dan rejeki. Dengan posisi yang seperti ini pecinan Semarang mampu bertahan sejak  abad ke 18 hingga sekarang melalui berbagai pergolakan politik dan kerusuhan silih berganti. Nafas hidup yang mengalir secara kontinyu ternyata membawa permukiman ini tetap survive.

Di lain pihak, Simpang lima adalah ruang terbuka yang dikelilingi oleh bangunan tinggi. Dipandang dari fungsinya Simpang Lima merupakan tempat berkumpul untuk upacara, jalan-jalan dsb. Walaupun dari pemahaman kosmologis ruang terbuka ini tidak memiliki makna yang berkaitan dengan makro kosmos dan mikro kosmos, secara kosmologi terapan, ruang terbuka ini dikelilingi oleh satu susunan bidang dan titik  yang merupakan tempat dimana Qi berkumpul dan memberikan banyak rejeki. Lapangan Simpang Lima menjadi daerah Central Bussiness District karena dia terbuka dan tidak ada unsur api ditengahnya. Lapangan yang luas ini mereduksi kekuatan aliran yang membawa pergi Qi. Lain halnya jika di Lapangan Simpang lima dibangun bangunan (misalnya saja untuk parkir) walaupun bagian atas bangunan parkir ini tetap dipertahankan sebagai tempat terbuka, bangunan ini akan memberikan unsur tanah yang merugikan. Memang masalah parkir dapat teratasi, tetapi bangunan disekitar simpang lima akan mengalami penurunan kelas dan pada akhirnya pusat kota akan berpindah ke tempat yang baru .

Untuk keadaan yang ada sekarang, pertanyaannya, bangunan mana yang mendapat Qi terbanyak? Tidak salah lagi tentu hotel dan Mal Ciputra yang tegak lurus dengan jalan pahlawan yang menurun dari atas. Jika tidak ada lapangan yang luas, maka Mall Ciputra berada pada posisi tusuk sate dan tidak menguntungkan. Sebaliknya dengan adanya simpang lima, maka Mall ciputra bagaikan mulut naga yang mencaplok hampir seluruh Qi yang mengalir didaerah itu. Agar bangunan lain dapat bersaing tentunya perlu dimodifikasi sehingga menjadi mulut naga yang lebih besar. Untuk itulah mendisain simpang lima dan bangunan disitu butuh pengetahuan seorang urban disainer yang sekaligus paham akan fengshui.

No comments:

Post a Comment