Pecinan di Semarang tidak
didirikan berbatasan dengan pantai yang berombak dan menyulitkan penambatan
perahu. Sebaliknya berada di perairan sungai yang tenang didekat muara. Ong
King Hong waktu membangun Pecinan (permukiman Tionghoa) di Simongan berada di
tepi sungai Garang dengan dilatar belakangi perbukitan. Demikian pula waktu
orang Tionghoa dipindahkan ke area pecinan yang sekarang. Walaupun area yang
mereka tempati merupakan dataran rendah dengan dikelilingi kali Semarang,
mereka membangun deretan rumah-rumah yang pertama di tepi sungai dan di
tengahnya kolam yang disebut Bale Kambang. Di tahun 1924 tatkala Belanda akan
menutup kolam ini karena dianggap sebagai sarang nyamuk orang-orang Tionghoa
pada waktu itu protes, hasilnya justru Belanda membuat parit disepanjang jalan
di Pecinan sehingga air kolam tadi mengalir. Sekarang kolam ini sudah tidak ada
bekasnya. Sejak tahun 1966 bale kambang ditutup dan diatasnya didirikan gudang. Tetapi, bukan berarti bahwa penduduk
didaerah ini tidak percaya lagi dengan Fengshui.
Mereka tetap berusaha menangkal Sha
dengan memasang berbagai jimat di pintu.
Walaupun permukiman ini tumbuh
secara organik dan tanpa perencanaan awal, tetapi karena semuanya menganut
prinsip-prinsip fengshui, kita temui
disini tidak ada simpang empat yang besar. Simpang empat yang terjadi hanyalah
disepanjang Gang Cilik yang sebenarnya menjadi jalan yang dipakai sebagai jalan
tembus saja. Sedang dijalan-jalan yang lain yang ada adalah simpang tiga dan
diujung as jalan adalah kelenteng. Kelengteng ini dimaksudkan untuk menjaga
permukiman yang ada di sepanjang jalan didepannya. Jadi dia bagaikan penjaga
siang malam dari lingkungan ini untuk memberikan banyak keselamatan dan rejeki.
Dengan posisi yang seperti ini pecinan Semarang mampu bertahan sejak abad ke 18 hingga sekarang melalui berbagai
pergolakan politik dan kerusuhan silih berganti. Nafas hidup yang mengalir
secara kontinyu ternyata membawa permukiman ini tetap survive.
Di lain pihak, Simpang lima
adalah ruang terbuka yang dikelilingi oleh bangunan tinggi. Dipandang dari
fungsinya Simpang Lima merupakan tempat berkumpul untuk upacara, jalan-jalan
dsb. Walaupun dari pemahaman kosmologis ruang terbuka ini tidak memiliki makna
yang berkaitan dengan makro kosmos dan mikro kosmos, secara kosmologi terapan,
ruang terbuka ini dikelilingi oleh satu susunan bidang dan titik yang merupakan tempat dimana Qi berkumpul dan memberikan banyak
rejeki. Lapangan Simpang Lima menjadi daerah Central Bussiness District karena
dia terbuka dan tidak ada unsur api ditengahnya. Lapangan yang luas ini
mereduksi kekuatan aliran yang membawa pergi Qi. Lain halnya jika di Lapangan Simpang lima dibangun bangunan
(misalnya saja untuk parkir) walaupun bagian atas bangunan parkir ini tetap
dipertahankan sebagai tempat terbuka, bangunan ini akan memberikan unsur tanah
yang merugikan. Memang masalah parkir dapat teratasi, tetapi bangunan disekitar
simpang lima akan mengalami penurunan kelas dan pada akhirnya pusat kota akan
berpindah ke tempat yang baru .
Untuk keadaan yang ada sekarang,
pertanyaannya, bangunan mana yang mendapat Qi
terbanyak? Tidak salah lagi tentu
hotel dan Mal Ciputra yang tegak lurus dengan jalan pahlawan yang menurun dari
atas. Jika tidak ada lapangan yang luas, maka Mall Ciputra berada pada posisi
tusuk sate dan tidak menguntungkan. Sebaliknya dengan adanya simpang lima, maka
Mall ciputra bagaikan mulut naga yang mencaplok hampir seluruh Qi yang mengalir didaerah itu. Agar
bangunan lain dapat bersaing tentunya perlu dimodifikasi sehingga menjadi mulut
naga yang lebih besar. Untuk itulah mendisain simpang lima dan bangunan disitu
butuh pengetahuan seorang urban disainer yang sekaligus paham akan fengshui.
No comments:
Post a Comment