Jalan adalah istilah teori arsitektural yang menjelaskan dua cara
berfikir dan analisis. Hal pertama adalah suatu arah untuk mengetahui
arsitektur yang buruk atau indah, keberagaman atau keseragaman gaya bangunanya
ditunjukkan pada sisi-sisinya. Kedua suatu teater atau kehidupan perkotaan;
penjaja jalanan, kemacetan jalan dan keseluruhan interaksi sosial yang
dicerminkan dalam realitas tiga dimensi. Hal ini menunjukkan karakter
perkotaan.
Dengan menggambarkan suatu jalan sebagai hamparan bangunan abu-abu, sebuah puisi pada saat yang sama berbicara tentang seorang ibu tunawisma yang kesepian. Ketika seorang pelukis menggambar sebuah kota, ia akan menggambar sebuah jalan atau jalan-jalan seolah-olah hal itu merupakan satu-satunya cara mengimajinasikan kehidupan perkotaan. Jalan, tentu saja diam, tetapi sebenamya merupakan bahasa dinamis, tidak hanya interaksi sosial tetapi juga diversifikasi antara kebencian dan cinta, direpresentasikan dalam karakter dialektika ruang. Tak peduli anda berjalan, anda akan merasakan bahwa jalan adalah akumulasi dari seluruh tanda kehidupan. Sebagai suatu akumulasi dari simbol, jalan yang secara terus-menerus bergerak dari sudut ke sudut mengekspresikan ruang perkotaan yang tanpa batas.
Jalan-jalan di Pecinan Semarang adalah gang-gang tanpa jalan kecil - dalam bahasa setempat disebut Gang. Tadinya, jalan-jalan itu tidak digunakan sebagai fasilitas, tetapi hanya untuk lewat. Jalan utama seluas lima meter dan jalan sekunder untuk para pejalan kaki, becak. kereta yang ditarik binatang, dan sepeda. Dari foto-foto lama orang dapat melihat bahwa gang jalan belum ditutup aspal dan lantai rumah lebih tinggi setidaknya satu meter dari permukaan jalan untuk menghindari air bah yang sering terjadi pada saat musim hujan Bangunan-bangunan membentang di sepanjang jalan tanpa got untuk saluran air dan tanpa trotoar. Satu atau dua rumah pertokoan di kedua sisi jalan menciptakan ruang yang intim sebagai tempat berkumpul. Pada saat itu tidak ada begitu banyak kendaraan, orang dapat dengan mudah berjalan di tengah jalan.2 Arsitektur rumah bergaya eklektik, campuran antara ornamen China, Eropa dan Persia.
Aktifitas ekonomi rumah-rumah pertokoan adalah penjaja eceran dan paket. Barang-barangya tidak hanya ditempatkan di dalam toko tetapi juga di depannya. Sebagai tempat perbelanjaan kebanyakan jalan-jalan perluasan dari toko karena orang menaruh produk atau barang-barang di depan pertokoan. Perluasan ini meuciptakan pembagian yang tidak jelas antara ruang milik pribadi dari toko-toko itu dengan ruang publik dari jalan. Kios-kios dan kedai-kedai selalu berada di sepanjang jalan dan kebanyakan di sudut-sudut jalan. Sebuah kios kaki lima luasnya satu meter dan panjangnya satu setengah meter menjual rokok, koran dan barang-barang keperluan sehari-hari lainnya. Pemiliknya duduk di dalamnya dan kadang-kadang juga tidur di dalamnya. Demikian pula kedai-kedai makanan (warung), dengan kursi dan meja panjang. ada pula gerobak tangan untuk menyimpan makanan dan dapat pula dipindah-pmdah.
Rumah-rumah di sepanjang jalan Pecinan memberikan kesan kedekatan. Kebanyakan mereka berdekatan dan dipagari dengan tirai besi yang kuat sekalipun selama hari-hari kerja. Para penghuni keluar masuk melalui pintu yang sempit di sebelah kin. Di samping itu privasi sangat penting bagi orang-orang Tionghoa yang membawa keluarga mereka dari luar. Alasan keamanan barangkali jawabannya, karena sejak beberapa abad yang lalu wilayah Pecinan Semarang menjadi sasaran yang lemah bagi kerusuhan anti Tionghoa yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Mereka juga berfikir bahwa segala sesuatu di Semarang sejak jaman kuno tidak terprediksi dan tidak tentu. karena merupakan suatu tempat sementara dimana mereka harus hidup. Walaupun mereka memegang kekuatan ekonomi, tirai besi menunjukkan kondisi yang tidak stabil dari penduduk Tionghoa yang tinggal di kota.
2) Sebuah lukisan karya J.C. Rappard, menunjukkan adanya serangkaian toko-toko Tionghoa dan runiah bertingkat pada tahun 1880 di Jakarta. Jalan pada saat itu adalah untuk orang dan bukan untuk binatang dan atau kereta (Salmon, 1985:18)
No comments:
Post a Comment