Prosesi Peringatan Kedatangan Sampokong Di Semarang
Agama tradisional orang Tionghoa bersifat
sinkretis yang diturunkan dari tiga ajaran: konfusius, Taoisme dan Budhisme.
Yang sangat menonjol dari kegiatan religius mereka adalah penyembahan arwah
leluhur yang sebenarnya sangat tua menjadi kepercayaan mereka dan kemudian
diperkuat oleh ajaran Konfusius yang patriakhal. Agama yang sinkretik ini lebih
dikenal sebagai kebudayaan Cina.
Di rumah mereka menyembah dewa rumah yang
patungnya diletakkan diatas meja sembahyang yang ditutup dengan kain batik7) berwarna merah dengan gambar naga.
Patung tadi diapit dua lilin merah. Di depan patung ada mangkuk yang dinamai
Hio Low, tempat menaruh batang hio swa. Ada tiga dewa rumah yang mereka
percayai (gambar 2.2). Pertama Kwankong, dewa perang yang memberikan keberanian
dan kesuksesan. Yang kedua Dewi Kwan Im, dewi dari agama Budha yang dipercayai
dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan keluarga. Yang ketiga Sam Kwan
Tay Te atau disebut juga tiga dewa dalam ajaran Taoisme: Dewa Langit, dewa bumi
dan dewa air.8) Dewa Kwan Kong dan Kwan
Im, yang disembahyangi setiap tanggal satu dan lima belas dari penanggalan
Cina, adalah yang paling populer diantara orang Tionghoa Timurlaut Jawa Tengah.
Di dalam kepercayan orang Tionghoa ada Dewa
tertinggi yang disebut dengan Thi Kung. Dialah Tuhan yang maha kuasa dan maha
besar. Penyembahan terhadap Thi Kung, yang tidak ada patungnya ini, dilakukan
di tempat terbuka sehingga batang Hio Swa dapat langsung diarahkan ke langit.
Maka dari itu di pintu depan rumah dan juga di beranda depan ada pegangan dari
seng yang berwarna merah untuk meletakan batang Hio Swa setelah selesai
sembahyang.
Penyembahan arwah leluhur adalah pemujaan yang mengkontribusi
kepada integrasi dan mengekalkan kehadiran leluhur didalam keluarga sebagai
satu unit dasar masyarakat Tionghoa. Penyembahan ini
merupakan aspek ritual dari sistem keluarga tradisional Tionghoa. Menurut
kepercayaan anak laki tertua bertanggung jawab atas abu leluhurnya dan anggota
keluarga yang lain datang kerumahnya untuk sembahyang. Didalam konteks orang
Tionghoa di Timurlaut Jawa Tengah ini, abu yang di simpan di dalam rumah
bukanlah abu jenasah melainkan abu batang Hio Swa yang dipergunakan selama
upacara penguburan.
Altar
arwah leluhur biasanya memiliki meja
setinggi 120 cm. Di atas meja ini ada Hio Low yang diapit oleh lampu minyak dan
lilin dan dilatar belakangi foto-foto para anggota keluarga yang telah
meningggal serta sebuah lukisan pemandangan alam. Di kedua sisi lukisan ini ada
sepasang aphorisme yang ditulis dalam huruf Cina. Kadang-kadang
ada beberapa Hiolow tergantung dari berapa jumlah anggota keluarga yang masih
disembahyangi tiap hari. Rancangan meja sembahyang ini bervariasi dari yang
paling sederhana sampai yang paling rumit. Biasanya ada miniatur rumah
diatasnya. Di bawah meja ini ada meja yang lebih kecil yang dapat ditarik
keluar untuk meletakkan sesajian dihari-hari yang khusus. Pada meja sembahyang
yang sangat sederhana tidak dilengkapi dengan lukisan, sebagai gantinya foto
arwah yang di sembahyangi digantung disitu (gambar 2.2).
Sebagai
akibat dari pelarangan segala sesuatu yang berbau Cina di jaman Orde Baru,
agama tradisional Tionghoa ini mengalami tekanan yang sangat hebat. Pendirian
kelenteng tidak diijinkan dan kelenteng yang ada berada di bawah pengawasan
departement agama. 9) Setiap aktifitas dan
upacara di kelenteng yang mengundang banyak orang harus mendapatkan ijin
terlebih dahulu dari departemen agama dan kepolisian setempat. Banyak
upacara-upacara yang mengambil tempat di jalan-jalan sepanjang Pecinan
dihapuskan.10) Akibatnya, saat ini
lebih dari separo komunitas Tionghoa di jawa telah pindah keagama Nasrani.
Agama tradisional Tionghoa di Timurlaut Jawa Tengah mengalami kemunduran yang
sangat cepat. Akifitas religi tradisional di dalam keluarga Tionghoa seperti
sembayangan arwah leluhur sedikit-demi
sedikit akan hanya menjadi kenangan. Tetapi dengan munculnya era reformasi,
aktifitas religi dan kebudayaan Tionghoa mengalami revitalisasi karena tidak
ada lagi pelarangan-pelarangan seperti di jaman Orde Baru. Hampir semua
kelenteng telah dipugar. Kelenteng Sam Po Kong disemarang diperbesar bahkan
menjadi tempat wisata Budaya. Hari Raya Tahun Baru Imlek di jaman reformasi
kembali menjadi hari Libur yang dirayakan dengan berbagai pernak-pernik
“Ketionghoaan”. Revitalisasi kebudayaan ini telah menjadikan orang Tionghoa
sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang utuh.
7) Batik dibedakan
menjadi batik cap dan batik tulis
8) TAY KAK SIE, 1986, p 23-24
9) TEMPO, 24 August
1991: 34.
10) Soal pelarangan agama kebudayaan
Tionghoa, sebuah pernyataan Jendral Soemitro perlu kita kutip disini.
"Kami tidak dapat melihat lagi adanya klenteng itu,
demikian juga dengan petilasan-petilasan yang dihiasi dengan gambar-gambar yang
berbau Cina. Kami akan mengembalikannya kepada yang asli dan tindakan kami ini
supaya diterima. Perayaan Imlek (Tahun Baru Tionghoa) tidak perlu diadakan lagi
kecuali oleh WN Asing." (Lihat SURYADINATA, 1984:
36).
No comments:
Post a Comment