Tuesday, February 3, 2015

Kehidupan Religius

Prosesi Peringatan Kedatangan Sampokong Di Semarang


Agama tradisional orang Tionghoa bersifat sinkretis yang diturunkan dari tiga ajaran: konfusius, Taoisme dan Budhisme. Yang sangat menonjol dari kegiatan religius mereka adalah penyembahan arwah leluhur yang sebenarnya sangat tua menjadi kepercayaan mereka dan kemudian diperkuat oleh ajaran Konfusius yang patriakhal. Agama yang sinkretik ini lebih dikenal sebagai kebudayaan Cina.

Di rumah mereka menyembah dewa rumah yang patungnya diletakkan diatas meja sembahyang yang ditutup dengan kain batik7) berwarna merah dengan gambar naga. Patung tadi diapit dua lilin merah. Di depan patung ada mangkuk yang dinamai Hio Low, tempat menaruh batang hio swa. Ada tiga dewa rumah yang mereka percayai (gambar 2.2). Pertama Kwankong, dewa perang yang memberikan keberanian dan kesuksesan. Yang kedua Dewi Kwan Im, dewi dari agama Budha yang dipercayai dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan keluarga. Yang ketiga Sam Kwan Tay Te atau disebut juga tiga dewa dalam ajaran Taoisme: Dewa Langit, dewa bumi dan dewa air.8) Dewa Kwan Kong dan Kwan Im, yang disembahyangi setiap tanggal satu dan lima belas dari penanggalan Cina, adalah yang paling populer diantara orang Tionghoa Timurlaut Jawa Tengah.

Di dalam kepercayan orang Tionghoa ada Dewa tertinggi yang disebut dengan Thi Kung. Dialah Tuhan yang maha kuasa dan maha besar. Penyembahan terhadap Thi Kung, yang tidak ada patungnya ini, dilakukan di tempat terbuka sehingga batang Hio Swa dapat langsung diarahkan ke langit. Maka dari itu di pintu depan rumah dan juga di beranda depan ada pegangan dari seng yang berwarna merah untuk meletakan batang Hio Swa setelah selesai sembahyang.

Penyembahan arwah leluhur adalah pemujaan yang mengkontribusi kepada integrasi dan mengekalkan kehadiran leluhur didalam keluarga sebagai satu unit dasar masyarakat Tionghoa. Penyembahan ini merupakan aspek ritual dari sistem keluarga tradisional Tionghoa. Menurut kepercayaan anak laki tertua bertanggung jawab atas abu leluhurnya dan anggota keluarga yang lain datang kerumahnya untuk sembahyang. Didalam konteks orang Tionghoa di Timurlaut Jawa Tengah ini, abu yang di simpan di dalam rumah bukanlah abu jenasah melainkan abu batang Hio Swa yang dipergunakan selama upacara penguburan.

Altar arwah  leluhur biasanya memiliki meja setinggi 120 cm. Di atas meja ini ada Hio Low yang diapit oleh lampu minyak dan lilin dan dilatar belakangi foto-foto para anggota keluarga yang telah meningggal serta sebuah lukisan pemandangan alam. Di kedua sisi lukisan ini ada sepasang aphorisme yang ditulis dalam huruf Cina. Kadang-kadang ada beberapa Hiolow tergantung dari berapa jumlah anggota keluarga yang masih disembahyangi tiap hari. Rancangan meja sembahyang ini bervariasi dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit. Biasanya ada miniatur rumah diatasnya. Di bawah meja ini ada meja yang lebih kecil yang dapat ditarik keluar untuk meletakkan sesajian dihari-hari yang khusus. Pada meja sembahyang yang sangat sederhana tidak dilengkapi dengan lukisan, sebagai gantinya foto arwah yang di sembahyangi digantung disitu (gambar 2.2).

Sebagai akibat dari pelarangan segala sesuatu yang berbau Cina di jaman Orde Baru, agama tradisional Tionghoa ini mengalami tekanan yang sangat hebat. Pendirian kelenteng tidak diijinkan dan kelenteng yang ada berada di bawah pengawasan departement agama. 9) Setiap aktifitas dan upacara di kelenteng yang mengundang banyak orang harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari departemen agama dan kepolisian setempat. Banyak upacara-upacara yang mengambil tempat di jalan-jalan sepanjang Pecinan dihapuskan.10) Akibatnya, saat ini lebih dari separo komunitas Tionghoa di jawa telah pindah keagama Nasrani. Agama tradisional Tionghoa di Timurlaut Jawa Tengah mengalami kemunduran yang sangat cepat. Akifitas religi tradisional di dalam keluarga Tionghoa seperti sembayangan arwah leluhur  sedikit-demi sedikit akan hanya menjadi kenangan. Tetapi dengan munculnya era reformasi, aktifitas religi dan kebudayaan Tionghoa mengalami revitalisasi karena tidak ada lagi pelarangan-pelarangan seperti di jaman Orde Baru. Hampir semua kelenteng telah dipugar. Kelenteng Sam Po Kong disemarang diperbesar bahkan menjadi tempat wisata Budaya. Hari Raya Tahun Baru Imlek di jaman reformasi kembali menjadi hari Libur yang dirayakan dengan berbagai pernak-pernik “Ketionghoaan”. Revitalisasi kebudayaan ini telah menjadikan orang Tionghoa sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang utuh.



7) Batik dibedakan menjadi batik cap dan batik tulis

8) TAY KAK SIE, 1986, p 23-24

9) TEMPO, 24 August 1991: 34.

10) Soal pelarangan agama kebudayaan Tionghoa, sebuah pernyataan Jendral Soemitro perlu kita kutip disini.
"Kami tidak dapat melihat lagi adanya klenteng itu, demikian juga dengan petilasan-petilasan yang dihiasi dengan gambar-gambar yang berbau Cina. Kami akan mengembalikannya kepada yang asli dan tindakan kami ini supaya diterima. Perayaan Imlek (Tahun Baru Tionghoa) tidak perlu diadakan lagi kecuali oleh WN Asing." (Lihat SURYADINATA, 1984: 36).

No comments:

Post a Comment