Sebagai dampak dari buruknya infrastruktur dan rumah, orang Tionghoa
telah dipaksa untuk mencari tempat lain yang jauh lebih sehat di wilayah
pinggiran kota. Fenomena ini menciptakan suatu dikotomi antara kota pusat dan
pinggiran. Para profesional telah memisahkan tempat antara tempat tinggal dan
tempat kerja. Mereka bekerja di Pecinan tetapi tmggal di pinggiran kota. Orang
yang mempekerjakan dirinya sendiri lebih suka memiliki sebuah toko yang menjadi
bagian tak terpisahkan dari tempat tinggal. Mereka menjalankan toko eceran di
pusat perbelanjaan di wilayah perumahan baru. Para pengusaha Tionghoa kelas
atas di Semarang tinggal di wilayah perbukitan dimana mereka memiliki
pusat-pusat perbelanjaan yang luas di pusat kota.
Di Pecinan, walaupun banyak bagian depan rumah di jalan-jalan
utama telah rusak karena sentimen anti Tionghoa, bau pemukiman Tionghoa masih
ada dengan manifestasi visual terbatas. Kehidupan dan budaya dagang masih ada.
Ini masih merupakan sebuah tempat yang hidup walaupun arsitektur tradisional
mereka telah berubah secara brutal menjadi moderen - bagian depan yang telah
rusak. Hal ini menunjukkan bahwa kesan kota memungkinkan penduduk untuk
mengidentifikasikan masa lampau dan masa depannya sebagai suatu entitas
politik, kultural dan sosial. Perubahan kultural hanya dapat terjadi melalui
bagian dalam suatu masyarakat bukan karena tekanan politik dari luar.
Akan tetapi, dalam modernisasi yang cepat ini banyak orang Tionghoa
masih menyimpan tradisi dan agama mereka. Selama perayaan kuil, orang-orang Tionghoa
mengadakan banyak prosesi upacara keagamaan. Kwam Im masih memiliki tempat
penting di dalam rumah-rumah mereka Tekanan politik selama Orde Baru yang
berpengaruh terhadap kebudayaan Tionghoa telah berakhir. Saat ini
upacara-upacara umum kebudavaan Peranakan Tionghoa muncul kembali di kota ini.
No comments:
Post a Comment