Tuesday, February 3, 2015

Kesimpulan



Sebagai dampak dari buruknya infrastruktur dan rumah, orang Tionghoa telah dipaksa untuk mencari tempat lain yang jauh lebih sehat di wilayah pinggiran kota. Fenomena ini menciptakan suatu dikotomi antara kota pusat dan pinggiran. Para profesional telah memisahkan tempat antara tempat tinggal dan tempat kerja. Mereka bekerja di Pecinan tetapi tmggal di pinggiran kota. Orang yang mempekerjakan dirinya sendiri lebih suka memiliki sebuah toko yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tempat tinggal. Mereka menjalankan toko eceran di pusat perbelanjaan di wilayah perumahan baru. Para pengusaha Tionghoa kelas atas di Semarang tinggal di wilayah perbukitan dimana mereka memiliki pusat-pusat perbelanjaan yang luas di pusat kota.
Di Pecinan, walaupun banyak bagian depan rumah di jalan-jalan utama telah rusak karena sentimen anti Tionghoa, bau pemukiman Tionghoa masih ada dengan manifestasi visual terbatas. Kehidupan dan budaya dagang masih ada. Ini masih merupakan sebuah tempat yang hidup walaupun arsitektur tradisional mereka telah berubah secara brutal menjadi moderen - bagian depan yang telah rusak. Hal ini menunjukkan bahwa kesan kota memungkinkan penduduk untuk mengidentifikasikan masa lampau dan masa depannya sebagai suatu entitas politik, kultural dan sosial. Perubahan kultural hanya dapat terjadi melalui bagian dalam suatu masyarakat bukan karena tekanan politik dari luar.
Akan tetapi, dalam modernisasi yang cepat ini banyak orang Tionghoa masih menyimpan tradisi dan agama mereka. Selama perayaan kuil, orang-orang Tionghoa mengadakan banyak prosesi upacara keagamaan. Kwam Im masih memiliki tempat penting di dalam rumah-rumah mereka Tekanan politik selama Orde Baru yang berpengaruh terhadap kebudayaan Tionghoa telah berakhir. Saat ini upacara-upacara umum kebudavaan Peranakan Tionghoa muncul kembali di kota ini.

No comments:

Post a Comment