Jalan Raya 67 Lasem
Diawal abad ke 19, populasi orang Tionghoa di
Timurlaut Jawa Tengah tidak melebihi 4.819 jiwa tersebar di delapan kabupaten.
Jumlah ini sama dengan 0,98% dari populasi penduduk keseluruhan.1) Di delapan kabupaten ini terdapat
sebelas Pecinan. Hampir semua orang Tionghoa pada waktu itu adalah kelompok
Hokkien yang datang dari propinsi Fukien. 2)
Di pertengahan abad ke 20 barulah datang
orang-orang Tionghoa dari pelbagai wilayah di Tiongkok Selatan seperti
Kwantung, Kwangsi, Hunan, Hainan dan Kiangsi. Mereka adalah orang Tionghoa dari
kelompok bahasa yang berbeda-beda seperti kanton, Hakka, Tiochiu, Kwaongsai,
Hokchiu Hupei, Hokchia, Henghua, Hainanese (Hailam). Orang-orang Henghua,
Hokchia dan Hokkien disebut Minnan (gambar 2.1). 3) Saat inilah migrasi dari Tiongkok
mencapai puncaknya dan Pecinan di Jawa menjadi stabil. 4)
Migrasi orang Tionghoa yang terjadi pada dasawarsa
yang berbeda menyebabkan terbentuknya dua kelompok masyarakat Tionghoa di jawa,
kelompok Totok dan peranakan. Cina totok adalah orang Tionghoa yang tiba di
Jawa pada awal abad ke 20 dan mereka terdiri dari beberapa kelompok bahasa
Cina. Mereka mendidik anaknya dalam kebudayaan dan kebiasaan hidup Cina
termasuk juga penggunaan bahasa Cina dirumah. Sebaliknya kelompok peranakan
adalah orang Tionghoa yang telah beberapa generasi tinggal di Jawa.5) Bahasa ibu mereka bahasa Melayu dan
Jawa, serta tidak dapat berbahasa Cina
lagi. Mereka tumbuh dalam budaya yang bercampur antara Tionghoa dan Jawa
sehingga orientasi mereka terhadap tanah leluhur tidak sekuat mereka yang
Totok.
Pada waktu itu, antara dua kelompok ini tidak ada
rasa saling pengertian sehingga keduanya terpisahkan oleh perasaan permusuhan. Pria peranakan, misalnya, tidak akan menikah dengan wanita dari
keluarga Totok yang dianggap tidak berpendidikan. Kaum Peranakan lebih menghargai status sosial dan
waktu sengggang untuk keluarga. Di dunia perdagangan mereka tidak terlalu
berani spekulatif dibandingkan dengan yang Totok. Sebaliknya kaum Totok merasa
lebih Cina dan memiliki perasaan superior terhadap kaum peranakan. Mereka lebih
mementingkan harta dari pada status sosial sehingga mereka bekerja lebih keras,
lebih percaya diri dan lebih spekulatif. 6)
1) RAFFLES, 1988:
62.
2) SKINNER, dalam
TAN, 1979: 7.
3) KOHL, 1984: 2
dan TAN, 1979: 10-11.
4) TAN, 1979: 10 -
12
5) Menurut
Onghokham, hampir semua peranakan tidak dapat lagi ditelusuri asal-usulnya.
Jika asal-usul ini dapat ditelurusuri, mereka tidak akan lebih lama dari abad
ke 18 (ONGHOKHAM 1983: 29).
6) SKINNER dalam
TAN 1979: 11.
No comments:
Post a Comment