Tuesday, February 3, 2015

Masyarakat, Kehidupan Religius Dan Kosmologi

Jalan Raya 67 Lasem


Diawal abad ke 19, populasi orang Tionghoa di Timurlaut Jawa Tengah tidak melebihi 4.819 jiwa tersebar di delapan kabupaten. Jumlah ini sama dengan 0,98% dari populasi penduduk keseluruhan.1) Di delapan kabupaten ini terdapat sebelas Pecinan. Hampir semua orang Tionghoa pada waktu itu adalah kelompok Hokkien yang datang dari propinsi Fukien. 2)

Di pertengahan abad ke 20 barulah datang orang-orang Tionghoa dari pelbagai wilayah di Tiongkok Selatan seperti Kwantung, Kwangsi, Hunan, Hainan dan Kiangsi. Mereka adalah orang Tionghoa dari kelompok bahasa yang berbeda-beda seperti kanton, Hakka, Tiochiu, Kwaongsai, Hokchiu Hupei, Hokchia, Henghua, Hainanese (Hailam). Orang-orang Henghua, Hokchia dan Hokkien disebut Minnan (gambar 2.1). 3) Saat inilah migrasi dari Tiongkok mencapai puncaknya dan Pecinan di Jawa menjadi stabil. 4)

Migrasi orang Tionghoa yang terjadi pada dasawarsa yang berbeda menyebabkan terbentuknya dua kelompok masyarakat Tionghoa di jawa, kelompok Totok dan peranakan. Cina totok adalah orang Tionghoa yang tiba di Jawa pada awal abad ke 20 dan mereka terdiri dari beberapa kelompok bahasa Cina. Mereka mendidik anaknya dalam kebudayaan dan kebiasaan hidup Cina termasuk juga penggunaan bahasa Cina dirumah. Sebaliknya kelompok peranakan adalah orang Tionghoa yang telah beberapa generasi tinggal di Jawa.5) Bahasa ibu mereka bahasa Melayu dan Jawa, serta tidak dapat berbahasa  Cina lagi. Mereka tumbuh dalam budaya yang bercampur antara Tionghoa dan Jawa sehingga orientasi mereka terhadap tanah leluhur tidak sekuat mereka yang Totok. 

Pada waktu itu, antara dua kelompok ini tidak ada rasa saling pengertian sehingga keduanya terpisahkan oleh perasaan permusuhan. Pria peranakan, misalnya, tidak akan menikah dengan wanita dari keluarga Totok yang dianggap tidak berpendidikan. Kaum Peranakan lebih menghargai status sosial dan waktu sengggang untuk keluarga. Di dunia perdagangan mereka tidak terlalu berani spekulatif dibandingkan dengan yang Totok. Sebaliknya kaum Totok merasa lebih Cina dan memiliki perasaan superior terhadap kaum peranakan. Mereka lebih mementingkan harta dari pada status sosial sehingga mereka bekerja lebih keras, lebih percaya diri dan lebih spekulatif. 6)

Pembagian dua kelompok orang Tionghoa ini berlangsung hingga jaman Orde Lama. Setelah 1965, sebagai akibat gerakan anti Cina di jaman Orde baru, penggunaan bahasa Cina dilarang. Konsekwensinya antara kelompok Totok dan peranakan terasimilasi dan pembagian ini sekarang tidak terlihat lagi.




1) RAFFLES, 1988: 62.

2) SKINNER, dalam TAN, 1979: 7.

3) KOHL, 1984: 2 dan TAN, 1979: 10-11.

4) TAN, 1979: 10 - 12

5) Menurut Onghokham, hampir semua peranakan tidak dapat lagi ditelusuri asal-usulnya. Jika asal-usul ini dapat ditelurusuri, mereka tidak akan lebih lama dari abad ke 18 (ONGHOKHAM 1983: 29).

6) SKINNER dalam TAN 1979: 11.

No comments:

Post a Comment