Jalan Raya 72 Lasem
Skala arsitektur bangunan Tionghoa, berbeda dengan bangunan di Eropa, lebih menunjukkan skala manusia daripada Tuhan. Emperan yang rendah digaris beranda depan dan ketinggian wuwungan yang masih empat kali tinggi manusia memberikan impresi masih bisa dicapai oleh manusia yang hidup di halaman sekitarnya. Bahkan bangunan dua lantai yang tingginya lima sampai enam kali tinggi manusia, dengan pengaturan tritisan yang rendah tetap memberikan kesan kehangatan yang sangat manusiawi.
Di Lasem hanya dikenal satu tingkat dengan tiga rentang baik untuk bangunan kuil maupun bangunan rumah tinggal, baik yang sederhana ataupun yang mewah seperti tempat tinggal seorang Kapitain. Ini berbeda dengan rumah para kapitain Tionghoa di Semarang yang memiliki 5 rentang sebagai satu istana. Tapak rumahnya dibagi dalam beberapa bangunan sebagai berikut; pintu gerbang, rumah utama, satu atau dua rumah samping, dan rumah belakang. Rumah utama terletak di tengah-tengah dan dikelilingi oleh rumah samping dan belakang. Di antara bangunan-bangunan tadi terdapat halaman depan dan tengah. Tapak rumah ini di kelilingi oleh tembok.
Dalam konteks kosmologi ada kepercayaan bahwa rumah utama dijaga oleh seekor naga biru yang berada di rumah samping sebelah kiri. Seekor macan putih di rumah samping sebelah kanan, seekor burung merak merah di gerbang sebagai batas dengan jalan dan seekor kura-kura hitam di rumah belakang.
Rumah utama terdiri dari tiga bagian. Bagian muka adalah beranda depan. Bagian tengah adalah altar leluhur yang diapit oleh dua tempat tidur. Bagian belakang adalah sebuah rumah makan yang diapit oleh kamar tidur dikedua sisinya dan beranda belakang. Rumah utama dibangun dengan dua struktur atap. Atap depan hanya untuk menutupi beranda depan dan atap yang kedua menutupi bagian tengah dan belakang. Nok atap selalu paralel dengan jalan.
Untuk rumah satu lantai selalu terdapat loteng di atas altar leluhur. Loteng ini merupakan tempat keramat untuk menyimpan berbagai pusaka seperti pedang, guci, dan ajimat. Di dekat pusaka adalah tempat menyimpan emas, perak dan perhiasan lainnya. Untuk mencapai loteng, ada tangga yang sangat curam dan sempit yang tersembunyi di balik panel altar leluhur, tertutup seperti sebuah lemari. Untuk rumah dua lantai, pusaka terletak di lantai kedua yang keramat.
Tatanan ruang mula-mula sebuah rumah utama dapat diinterpretasikan sebagai satu bujur sangkar yang dilewati empat garis kearah transfersal (melintang) dan longitudinal (memanjang). Garis-garis transfersal dimulai dari pilar-pilar di beranda depan dan belakang. Garis longitudinal adalah partisi yang membagi antara bagian depan dan tengah, serta antara bagian tengah dan belakang. Daerah pertemuan keempat garis ini adalah altar leluhur, sebagai pusat rumah. Segi empat dan pembagian dari garis-garis arah transfersal dan longitudinal mencerminkan kosmologi Tionghoa yakni bahwa dunia adalah bujur sangkar yang terbagi dalam empat wilayah dengan Putra surga (sang kaisar) di tengahnya.
Secara keseluruhan, rumah-rumah tinggal ini merupakan metamorfosa dari seekor naga yang menggeliat dimana mulut naga tadi adalah bagian beranda depan, dan bagian tubuhnya adalah atap bangunan di belakangnya yang semakin kebelakang semakin tinggi. Bagian tertinggi dari bangunan utama adalah atap tengah rumah utama yang menutupi ruang altar leluhur dan ruang tidur, ia merupakan bagian tergelap dari satu rumah. Semakin sakral suatu ruang, semakin tinggi pula atapnya. Beberapa rumah belakang, terutama untuk rumah berukuran besar selalu bertingkat dua. Di bagian ini tinggal kakek dan nenek atau orang yang paling tua dari sebuah keluarga. Menurut kepercayaan Tionghoa, semakin tua seseorang maka ruang tidurnyapun semakin ke belakang dan semakin tinggi pula bangunannya.
Melalui pengukuran 63 bangunan di kota ini yang mencapai kira-kira seperempat pecinan, dapat disimpulkan bahwa lantai panggung (podium) diangkat setinggi 70 –80 cm sebanding dengan sepertiga tinggi orang. Tinggi podium ini memberi dasar pengukuran pada keseluruhan tinggi bangunan. Pada beranda depan, tinggi teritisan dari podium hanya dua kali tinggi orang yang kira-kira 165 cm. Karena itu tinggi kolom 3 – 3,5 m dan tinggi pintu utama 2,5 m. Kedalaman beranda depan adalah dua kali dari ketinggian teritisan, untuk mengurangi kelembaban, beranda depan selalu terbuka seperti layaknya pendopo pada arsitektur Jawa. Karena itu proporsi antara rangkaian tengah (badan) dan dasar (kaki) adalah 1 : 3,75, lebih besar dari bangunan di Tiongkok. Pada rumah gerbang yang tidak dibangun diatas podium tinggi tritisan juga dua kali tinggi orang. Dengan kemiringan atap 30-35 derajat, perbandingan antara tinggi wuwungan dan tinggi teritisan juga 2:1, sehingga memberikan proporsi yang harmonis pada skala manusia.
No comments:
Post a Comment