Tuesday, February 3, 2015

Transformasi Jalan



Telah berabad-abad orang Tionghoa hidup dalam rumah-rumah tradisionalnya yang dimspirasikan oleh arsitektur mereka sendiri. Sebelum abad XX, mereka tidak diijinkan untuk membangun rumah mereka dengan gaya rumah Belanda. Sebagai contoh, pada tahun 1877 pemerintah Belanda melarang Be Soe In untuk membangun sebuah flat rumah atap, karena model itu serupa dengan bentuk atap bangunan kantor Resident Belanda. Orang Tionghoa harus membangun bangunan mereka dengan model atap perabungan seperti rumah tradisional lainya (Liem, 1933: 150). Pada awal abad XX, setelah situasi politik di Belanda berubah, mereka tiba-tiba dibebaskan untuk membangun rumah mereka dengan gaya apa saja termasuk gaya Belanda.
Transformasi rumah pada awal abad ini mencerminkan runtuhnya diskriminasi rasial dan menunjukkan bahwa orang Tionghoa pemilik rumah-rumah ini berjuang memperoleh posisi yang sama dengan Belanda sebagai bagian dari kelompok yang berkuasa. Oleh karena itu, para pedagang borjuis Tionghoa yang kaya menggunakan kolom lonik, Tuscan dan Doris pada serambi rumah mereka, yang secara sadar mengidentifikasikan rumah mereka sebagai rumah "modern".3 Kerangka pintu berubah secara total menjadi kerangka pintu dengan segmen ventilasi di bagian atasnya Daun pintu berubah menjadi daun pintu jendela kaca. Bentuk atap rumah tradisional "kucing merangkak di atas atap dinding" digantikan dengan atap "bubungan" bergaya Roman.
Dengan kebebasan yang diperolehnya ini, sampai dengan masa kemerdekaan orang Tionghoa telah memainkan peranan penting dalam pengembangan arsitektur modem di wilayah perkotaan, sejalan dengan orang Belanda yang membangun kantor-kantor dan rumah-rumah modern. Orang Tionghoa membangun rumah pertokoan dan halaman gedung mereka yang modern yang memberikan kekayaan bentuk-bentuk arsitektur pada jalan-jalan, yang direka-reka sesuai dengan berbagai pilihan individu pembuatnya yang mengekspresikan diri mereka melalui gaya arsitektur ini. Perkembangan ini menyebabkan terjadinya integrasi antara arsitektur Tionghoa tradisional dan arsitektur kolonial moderen. Hasilnya adalah sebuah perpaduan dari berbagai bentuk arsitektur yang menunjukkan pluralitas dan diskontinuitas tetapi dalam kesatuan yang harmonis.

Sampai saat ini, walaupun arsitekturnya buruk, telah dibangun beberapa bangunan, seperti; supermarket, hotel dan kantor modern, yang dipakai sebagai tempat aktifitas bisnis orang Tionghoa di pusat kota. Tetapi sangat sedikit dari bagunan-bangunan itu yang bercirikan arsitektur asli. Semua bangunan modern ini telah menjadi ciri tersendiri dari kota.
Jalan berubah ke dalam kebudayaan global populer dengan berbagai plakat dan atmosflrnya telah dirubah dengan kasar oleh adanya pelebaran jalan. Kebudayaan Tionghoa mempertahankan suatu sintesis keahlian dari input yang berbeda dan gaya arsitektur peranakan secara kuat menunjukkan adanya penyimpangan dalam sejarah arsitektur Indonesia. Yang menyedihkan, budaya ini telah tertransformasi ke gaya internasional karena adanya pelebaran jalan. Sepanjang jalan utama di Pecinan, sebelum tahun 1966 tidak hanya ada ciri-ciri ke-Tionghoa-an tetapi juga karakteristik Latin. Nama-nama toko biasanya adalah nama pemiliknya. Pada masa Orde Baru, setelah tahun 1966 pemenntah melarang karakteristik Tionghoa ditunjukkan kepada publik di depan toko. Sekarang berbagai papan iklan dari produk tertentu dengan bahasa Inggris muncul di segala tempat. Sementara itu nama-nama toko yang telah di Indonesiakan sangat sedikit dan terletak di wilayah bawah. Beberapa di antara rumah pertokoan memasang papan di atas Balkon untuk meletakan nama toko dengan jelas. Papan-papan dan berbagai karakter nama toko yang berwama-wami itu memberikan kesan dekoratif di Pecinan. Tetapi ada tendensi arsitektur Tionghoa yang monoton dengan papan-papan nama yang repetitif setelah pelebaran jalan padatahun 1972.
Arsitektur khusus ini menciptakan dua persepsi yang berbeda. Pertama, suatu arsitektur dinamik yang mana peranan individu sangat penting untuk menciptakan figur jalan. Persepsi kedua, yang biasanya datang dari para perencana kota bahwa arsitektur khusus ini tidak asli dan harus di desain oleh seorang arsitek. Tetapi para perencana tidak pernah memperoleh hak mendesain Pecinan seperti pernah terjadi pada tahun 1972 ketika rumah di Gang Waning direnovasi bagian depannya karena jalan diperlebar. Kota dengan para desainernya memberikan desain seragam dan kehilangan keragamannya, yang dibutuhkan bagi sebuah jalan perbelanjaan. Beberapa tahun kemudian beberapa rumah didesain kembali oleh pemiliknya sesuai dengan selera ideal mereka. Di jalan Pecinan adalah sebuah ekspresi individu sebagai bagian dari kompetisi atas modernitas
Saat ini tidak hanya mobil-mobil kecil yang melewati jalan utama Pekojan -Gang Pinggir tetapi juga truk-truk dan kendaraan besar lainya. Selama jam-jam sibuk. sebelah sisi kiri dipakai untuk parkir yang hampir memakan tempat separuh luas jalan. Kemacetan sering terjadi terutama karena aktifitas bongkar-muat pada toko-toko grosir yang memerlukan akses langsung bagi kendaraan. Petugas parkir yang berseragam warna oranye menjadi sangat sibuk mengatur posisi parkir dan jalanan menjadi jalan perbelanjaan. Kurangnya trotoar memaksa para pejalan kaki untuk berjalan di antara mobil-mobil, yang tentu saja sangat berbahaya. Jalan-jalan menjadi sangat hidup tetapi tidak ramah karena diambil alih oleh mobil-mobil.
Akibatnya untuk mempercepat sampai ke tujuan orang lebih suka mengendarai sepeda motor.

3) Perbandingan Rumah Tionghoa bergaya Belanda dan rumah Belanda di Indonesia digambarkan olehJessup, 1988.

No comments:

Post a Comment