Telah berabad-abad orang Tionghoa hidup dalam rumah-rumah
tradisionalnya yang dimspirasikan oleh arsitektur mereka sendiri. Sebelum abad
XX, mereka tidak diijinkan untuk membangun rumah mereka dengan gaya rumah
Belanda. Sebagai contoh, pada tahun 1877 pemerintah Belanda melarang Be Soe In
untuk membangun sebuah flat rumah atap, karena model itu serupa dengan bentuk
atap bangunan kantor Resident Belanda. Orang Tionghoa harus membangun bangunan
mereka dengan model atap perabungan seperti rumah tradisional lainya (Liem, 1933:
150). Pada awal abad XX, setelah situasi politik di Belanda berubah, mereka
tiba-tiba dibebaskan untuk membangun rumah mereka dengan gaya apa saja termasuk
gaya Belanda.
Transformasi rumah pada awal abad ini mencerminkan runtuhnya
diskriminasi rasial dan menunjukkan bahwa orang Tionghoa pemilik rumah-rumah
ini berjuang memperoleh posisi yang sama dengan Belanda sebagai bagian dari
kelompok yang berkuasa. Oleh karena itu, para pedagang borjuis Tionghoa yang
kaya menggunakan kolom lonik, Tuscan dan Doris pada serambi rumah mereka, yang
secara sadar mengidentifikasikan rumah mereka sebagai rumah "modern".3
Kerangka pintu berubah secara total menjadi kerangka pintu dengan segmen
ventilasi di bagian atasnya Daun pintu berubah menjadi daun pintu jendela kaca.
Bentuk atap rumah tradisional "kucing merangkak di atas atap dinding"
digantikan dengan atap "bubungan" bergaya Roman.
Dengan kebebasan yang diperolehnya ini, sampai dengan masa
kemerdekaan orang Tionghoa telah memainkan peranan penting dalam pengembangan
arsitektur modem di wilayah perkotaan, sejalan dengan orang Belanda yang
membangun kantor-kantor dan rumah-rumah modern. Orang Tionghoa membangun rumah
pertokoan dan halaman gedung mereka yang modern yang memberikan kekayaan
bentuk-bentuk arsitektur pada jalan-jalan, yang direka-reka sesuai dengan
berbagai pilihan individu pembuatnya yang mengekspresikan diri mereka melalui
gaya arsitektur ini. Perkembangan ini menyebabkan terjadinya integrasi antara
arsitektur Tionghoa tradisional dan arsitektur kolonial moderen. Hasilnya adalah
sebuah perpaduan dari berbagai bentuk arsitektur yang menunjukkan pluralitas
dan diskontinuitas tetapi dalam kesatuan yang harmonis.
Sampai saat ini, walaupun arsitekturnya buruk, telah dibangun
beberapa bangunan, seperti; supermarket, hotel dan kantor modern, yang dipakai
sebagai tempat aktifitas bisnis orang Tionghoa di pusat kota. Tetapi sangat
sedikit dari bagunan-bangunan itu yang bercirikan arsitektur asli. Semua
bangunan modern ini telah menjadi ciri tersendiri dari kota.
Jalan berubah ke dalam kebudayaan global populer dengan berbagai
plakat dan atmosflrnya telah dirubah dengan kasar oleh adanya pelebaran jalan.
Kebudayaan Tionghoa mempertahankan suatu sintesis keahlian dari input yang
berbeda dan gaya arsitektur peranakan secara kuat menunjukkan adanya
penyimpangan dalam sejarah arsitektur Indonesia. Yang menyedihkan, budaya ini
telah tertransformasi ke gaya internasional karena adanya pelebaran jalan.
Sepanjang jalan utama di Pecinan, sebelum tahun 1966 tidak hanya ada ciri-ciri
ke-Tionghoa-an tetapi juga karakteristik Latin. Nama-nama toko biasanya adalah
nama pemiliknya. Pada masa Orde Baru, setelah tahun 1966 pemenntah melarang
karakteristik Tionghoa ditunjukkan kepada publik di depan toko. Sekarang
berbagai papan iklan dari produk tertentu dengan bahasa Inggris muncul di
segala tempat. Sementara itu nama-nama toko yang telah di Indonesiakan sangat
sedikit dan terletak di wilayah bawah. Beberapa di antara rumah pertokoan
memasang papan di atas Balkon untuk meletakan nama toko dengan jelas.
Papan-papan dan berbagai karakter nama toko yang berwama-wami itu memberikan
kesan dekoratif di Pecinan. Tetapi ada tendensi arsitektur Tionghoa yang
monoton dengan papan-papan nama yang repetitif setelah pelebaran jalan
padatahun 1972.
Arsitektur khusus ini menciptakan dua persepsi yang berbeda.
Pertama, suatu arsitektur dinamik yang mana peranan individu sangat penting
untuk menciptakan figur jalan. Persepsi kedua, yang biasanya datang dari para
perencana kota bahwa arsitektur khusus ini tidak asli dan harus di desain oleh
seorang arsitek. Tetapi para perencana tidak pernah memperoleh hak mendesain Pecinan
seperti pernah terjadi pada tahun 1972 ketika rumah di Gang Waning direnovasi
bagian depannya karena jalan diperlebar. Kota dengan para desainernya
memberikan desain seragam dan kehilangan keragamannya, yang dibutuhkan bagi
sebuah jalan perbelanjaan. Beberapa tahun kemudian beberapa rumah didesain kembali
oleh pemiliknya sesuai dengan selera ideal mereka. Di jalan Pecinan adalah
sebuah ekspresi individu sebagai bagian dari kompetisi atas modernitas
Saat ini tidak hanya mobil-mobil kecil yang melewati jalan utama
Pekojan -Gang Pinggir tetapi juga truk-truk dan kendaraan besar lainya. Selama
jam-jam sibuk. sebelah sisi kiri dipakai untuk parkir yang hampir memakan
tempat separuh luas jalan. Kemacetan sering terjadi terutama karena aktifitas
bongkar-muat pada toko-toko grosir yang memerlukan akses langsung bagi
kendaraan. Petugas parkir yang berseragam warna oranye menjadi sangat sibuk
mengatur posisi parkir dan jalanan menjadi jalan perbelanjaan. Kurangnya
trotoar memaksa para pejalan kaki untuk berjalan di antara mobil-mobil, yang
tentu saja sangat berbahaya. Jalan-jalan menjadi sangat hidup tetapi tidak
ramah karena diambil alih oleh mobil-mobil.
Akibatnya
untuk mempercepat sampai ke tujuan orang lebih suka mengendarai sepeda motor.
3) Perbandingan Rumah Tionghoa bergaya Belanda dan rumah Belanda di
Indonesia digambarkan olehJessup, 1988.
No comments:
Post a Comment