Jalan-jalan di Pecinan sebelumnya dalam bahasa Hokian disebut
seperti Tjap Kauw King (19 petak rumah). diambil dari jumlah rumah yang
ada di sepanjang jalan itu yang terdiri dan 19 buah (Liem 1933;60), Sin Kee
(Gang Baru). Kemudian jalan dinamakan dengan nama Jawa menurut kedudukan
penghuninya. Sebagai contoh nama Gambiran (tempat untuk menjual gambir),
Petudungan (tempat untuk menjual atap rumah dari rumbia) dan Besen (tempat
untuk pandai besi) menunjukkan dagangan eceran di sepanjang jalan. Sejalan
dengan hal itu, masyarakat membagi wilayah Pecinan dalam arah lokasinya
seperti; Pecinan Lor (Utara), Pecinan Kidul (Selatan), Pecinan Wetan (Timur)
dan Pecinan Kulon (Barat) (Liem 1933; 24, 86-87). Nama ini menunjukkan bahwa Pecinan
bukanlah suatu perkampungan tertutup tetapi terbuka sebagai tempat pertemuan
antara berbagai kelompok etnik untuk menjalankan bisnis dagang dan hubungan
sosial.
Ada dua jalan pasar; Jalan Pedamaran sebagai pasar tertua dari
Semarang dan Gang Bam. Disebut Pedamaran karena ada banyak orang menjual damar,
bahan yang dipakai untuk batik tulis tradisional. Para pedangang ini datang dari
wilayah sebelah timur Sungai Semarang. Biasanya mereka menginap di rumah-rumah
di sekitar pasar. Pelanggan-pelanggan mereka datang dari Mataram di wilayah
pedalaman dan dari daerah lain di wilayah Timur Laut Pesisir Jawa Tengah
seperti Jepara (Liem. 1933: 148). Di Gang baru ada pasar reguler yang menjual
sayur-sayuran dari sejak pagi hingga malam. Jalan-jalan menjadi sangat padat
dengan para pelanggan yang datang dari hampir seluruh wilayah Semarang. Orang
harus saling berdesakan untuk bergerak. Di samping mmah pertokoan yang didiami
oleh orang Tionghoa, ada juga penduduk asli yang datang dari sekitar Pecinan
lama atau dari luar Semarang menjual sayuran dan daging.
Para pedagang dapat dibagi dalam dua kategori; pertama pedagang
tetap yang memiliki tempat tersendiri seperti toko atau kios, dan kedua
pedagang yang tidak memiliki toko atau kios tetapi mereka duduk di depan kios.
Mereka saling mengenal satu sama lain dan bekerja sambil menggosip. Kebanyakan
di sudut-sudut jalan ada pedagang yang menjual makanan dan minuman yang
dikonsumsi oleh pedagang lain. Walaupun tidak ada data statistik, tetapi
moyoritas pedagang eceran adalah penduduk setempat dan umumnya pedagang besar
adalah orang Tionghoa. Hal ini berkaitan dengan posisi sosio-historisnya
sebagai pedagang perantara antara Belanda dan penduduk bumiputra.
Perkembangan komersial di Pasar Pedamaran ini menjadi magnet kuat
untuk perkembangan komersial berikutnya di wilayah sekitarnya. Pecinan sebagai
wilayah pemukiman berada persis di sebelah selatan pasar, tentu saja memperoleh
dampak yang kuat. Tidak hanya karena rumah-rumah yang ada perlahan-lahan
berubah menjadi bangunan-bangunan komersial, tetapi juga tempat pemukiman yang
kemudian secara jelas menyatu dengan pasar. Dengan kata lain, ironisnya, justru
telah menjadi bagian dari pasar itu sendiri, dan wilayahnya telah menjadi
padat. Akibatnya di belakang jalan utama muncul kampung perkotaan dengan gang
sempit dimana orang-orang Tionghoa miskin tinggal di gudang-gudang tua, yang
disekat-sekat dalam beberapa ruangan untuk keluarga tidak peduli apakah mereka
berhubungan atau tidak. Setiap keluarga memiliki satu kamar yang mungkin
dipakai baik untuk tidur, menerima tamu, dan masak. Para penghuni menyewa kamar
dari seorang tuan tanah atau mendiaminya secara ilegal karea pemiliknya yang
tidak diketahui lagi.
No comments:
Post a Comment