Tuesday, February 3, 2015

Nama Jalan dan Tempat Perdagangan



Jalan-jalan di Pecinan sebelumnya dalam bahasa Hokian disebut seperti Tjap Kauw King (19 petak rumah). diambil dari jumlah rumah yang ada di sepanjang jalan itu yang terdiri dan 19 buah (Liem 1933;60), Sin Kee (Gang Baru). Kemudian jalan dinamakan dengan nama Jawa menurut kedudukan penghuninya. Sebagai contoh nama Gambiran (tempat untuk menjual gambir), Petudungan (tempat untuk menjual atap rumah dari rumbia) dan Besen (tempat untuk pandai besi) menunjukkan dagangan eceran di sepanjang jalan. Sejalan dengan hal itu, masyarakat membagi wilayah Pecinan dalam arah lokasinya seperti; Pecinan Lor (Utara), Pecinan Kidul (Selatan), Pecinan Wetan (Timur) dan Pecinan Kulon (Barat) (Liem 1933; 24, 86-87). Nama ini menunjukkan bahwa Pecinan bukanlah suatu perkampungan tertutup tetapi terbuka sebagai tempat pertemuan antara berbagai kelompok etnik untuk menjalankan bisnis dagang dan hubungan sosial.
Ada dua jalan pasar; Jalan Pedamaran sebagai pasar tertua dari Semarang dan Gang Bam. Disebut Pedamaran karena ada banyak orang menjual damar, bahan yang dipakai untuk batik tulis tradisional. Para pedangang ini datang dari wilayah sebelah timur Sungai Semarang. Biasanya mereka menginap di rumah-rumah di sekitar pasar. Pelanggan-pelanggan mereka datang dari Mataram di wilayah pedalaman dan dari daerah lain di wilayah Timur Laut Pesisir Jawa Tengah seperti Jepara (Liem. 1933: 148). Di Gang baru ada pasar reguler yang menjual sayur-sayuran dari sejak pagi hingga malam. Jalan-jalan menjadi sangat padat dengan para pelanggan yang datang dari hampir seluruh wilayah Semarang. Orang harus saling berdesakan untuk bergerak. Di samping mmah pertokoan yang didiami oleh orang Tionghoa, ada juga penduduk asli yang datang dari sekitar Pecinan lama atau dari luar Semarang menjual sayuran dan daging.
Para pedagang dapat dibagi dalam dua kategori; pertama pedagang tetap yang memiliki tempat tersendiri seperti toko atau kios, dan kedua pedagang yang tidak memiliki toko atau kios tetapi mereka duduk di depan kios. Mereka saling mengenal satu sama lain dan bekerja sambil menggosip. Kebanyakan di sudut-sudut jalan ada pedagang yang menjual makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh pedagang lain. Walaupun tidak ada data statistik, tetapi moyoritas pedagang eceran adalah penduduk setempat dan umumnya pedagang besar adalah orang Tionghoa. Hal ini berkaitan dengan posisi sosio-historisnya sebagai pedagang perantara antara Belanda dan penduduk bumiputra.
Perkembangan komersial di Pasar Pedamaran ini menjadi magnet kuat untuk perkembangan komersial berikutnya di wilayah sekitarnya. Pecinan sebagai wilayah pemukiman berada persis di sebelah selatan pasar, tentu saja memperoleh dampak yang kuat. Tidak hanya karena rumah-rumah yang ada perlahan-lahan berubah menjadi bangunan-bangunan komersial, tetapi juga tempat pemukiman yang kemudian secara jelas menyatu dengan pasar. Dengan kata lain, ironisnya, justru telah menjadi bagian dari pasar itu sendiri, dan wilayahnya telah menjadi padat. Akibatnya di belakang jalan utama muncul kampung perkotaan dengan gang sempit dimana orang-orang Tionghoa miskin tinggal di gudang-gudang tua, yang disekat-sekat dalam beberapa ruangan untuk keluarga tidak peduli apakah mereka berhubungan atau tidak. Setiap keluarga memiliki satu kamar yang mungkin dipakai baik untuk tidur, menerima tamu, dan masak. Para penghuni menyewa kamar dari seorang tuan tanah atau mendiaminya secara ilegal karea pemiliknya yang tidak diketahui lagi.


No comments:

Post a Comment