Tuesday, February 3, 2015

Pendahuluan



Arsitektur adalah musik simfoni yang dapat ditangkap oleh mata dan disentuh dengan hati. Keseimbangan didalam sebuah narasi musik adalah keseimbangan antara ruang dan waktu. Ruang berarti tinggi rendahnya nada yang dalam suara merupakan wujud sebuah ruang, waktu adalah kapan nada tadi berbunyi dan seberapa lama panjangnya. Sebuah melodi yang indah dipercaya memiliki proporsi yang pas antara satu bagian kalimat lagu dengan kalimat lain. Proporsi pula yang membentuk satu karakter lagu. Dalam arsitektur tentunya ruang dan waktu juga berkuasa didalam menentukan satu harmoni lingkungan buatan. Proporsi pulalah yang memberi karakter satu wujud arsitektur seperti misalnya kesakralan satu bangunan ibadah yang terbentuk melalui proporsi atap dengan dinding dan ruang yang ada didepannya, selain itu juga proporsional dengan umur bangunannya.

Di dunia barat, proporsi berawal dari konsep Pythagorean bahwa semua ini adalah angka dan hubungan angka tertentu mewujudkan harmonisasi struktur dunia. Proporsi dalam hal ini merupakan rumus-rumus yang menterjemahkan satu arsitektur dalam keberadaannya di alam. Proporsi menjadi rasionalisasi perbandingan angka-angka dari satu bagian bangunan dengan bagian bangunan yang lain. Proporsi ini demikian rasional dan melandasi satu ekspresi estetik. Karena rasional maka oleh Lecorbusier dapat dijabarkan menjadi ukuran-ukuran yang lebih mendetail pada Le Modulor.

Berbeda dengan di Eropa dimana bangunan adalah kumpulan angka yang membentuk satu ke harmonisan yang terwujud pada tampak bangunan sebagai satu bidang solid, arsitektur Tionghoa bukanlah harmoni permainan ornamen pada bidang datar bagian depan bangunan, tetapi merupakan proporsi antara satu bagian bangunan dengan bagian bangunan yang lain. Proporsi seperti ini bersifat meruang secara horisontal dalam hubungan –hubungan dengan posisinya di atas tapak. Adakah aturan baku yang rasional pada arsitektur Tionghoa sehingga didapatkan modul dan sistem bangunan seperti halnya gereja-gereja gotik, barok dan arsitektur modern?

Prinsip-prinsip manusia bagi orang Tionghoa tidak dapat dipisahkan dari alam, dan bahwa manusia tidak dibagi dari mahluk sosial. Tidak hanya pada bangunan-bangunan kelenteng, istana, juga bangunan-bangunan tempat tinggal di desa dan di kota, merupakan senyawa yang berlangsung selama berabad-abad antara pola-pola kosmik dan simbol dari arah musim, angin dan konstelasi.

Sebagai manifestasi wadah berinteraksi secara sosial dan spiritual orang Tionghoa memberdayakan ruang-ruang horisontal sebagai kunci arsitektur mereka. Ruang yang horisontal ini menentukan proporsi ketinggian bangunan. Walaupun bangunan dua lantai, atau bahkan pagoda yang tinggi, tetap merupakan bagian dari skala besar horisontal dimana bangunan teraransir secara harmonis dalam perspektif satu kesatuan bentuk dengan beberapa bagian lain yang tak terpisahkan.

Maka dari itu untuk memahami arsitektur Tionghoa tentunya pola pikir kita harus diubah dari dimensi tunggal sebagai proporsi façade menjadi proporsi yang multi dimensional.

Dalam tradisi Tionghoa kepercayaan akan skala manusia  tidak diragukan lagi memiliki hubungan dengan batasan-batasan alam akan konstruksi kayu dalam hal ini, para ahli bangunan Tionghoa sangat menyadari dimensi-dimensi standard dan proporsi yang benar.

No comments:

Post a Comment