Arsitektur adalah musik simfoni
yang dapat ditangkap oleh mata dan disentuh dengan hati. Keseimbangan didalam
sebuah narasi musik adalah keseimbangan antara ruang dan waktu. Ruang berarti
tinggi rendahnya nada yang dalam suara merupakan wujud sebuah ruang, waktu
adalah kapan nada tadi berbunyi dan seberapa lama panjangnya. Sebuah melodi
yang indah dipercaya memiliki proporsi yang pas antara satu bagian kalimat lagu
dengan kalimat lain. Proporsi pula yang membentuk satu karakter lagu. Dalam
arsitektur tentunya ruang dan waktu juga berkuasa didalam menentukan satu
harmoni lingkungan buatan. Proporsi pulalah yang memberi karakter satu wujud
arsitektur seperti misalnya kesakralan satu bangunan ibadah yang terbentuk
melalui proporsi atap dengan dinding dan ruang yang ada didepannya, selain itu
juga proporsional dengan umur bangunannya.
Di dunia barat, proporsi berawal
dari konsep Pythagorean bahwa semua ini adalah angka dan hubungan angka
tertentu mewujudkan harmonisasi struktur dunia. Proporsi dalam hal ini
merupakan rumus-rumus yang menterjemahkan satu arsitektur dalam keberadaannya
di alam. Proporsi menjadi rasionalisasi perbandingan angka-angka dari satu
bagian bangunan dengan bagian bangunan yang lain. Proporsi ini demikian
rasional dan melandasi satu ekspresi estetik. Karena rasional maka oleh
Lecorbusier dapat dijabarkan menjadi ukuran-ukuran yang lebih mendetail pada Le
Modulor.
Berbeda dengan di Eropa dimana
bangunan adalah kumpulan angka yang membentuk satu ke harmonisan yang terwujud
pada tampak bangunan sebagai satu bidang solid, arsitektur Tionghoa bukanlah
harmoni permainan ornamen pada bidang datar bagian depan bangunan, tetapi
merupakan proporsi antara satu bagian bangunan dengan bagian bangunan yang
lain. Proporsi seperti ini bersifat meruang secara horisontal dalam hubungan
–hubungan dengan posisinya di atas tapak. Adakah aturan baku yang rasional pada
arsitektur Tionghoa sehingga didapatkan modul dan sistem bangunan seperti
halnya gereja-gereja gotik, barok dan arsitektur modern?
Prinsip-prinsip manusia bagi
orang Tionghoa tidak dapat dipisahkan dari alam, dan bahwa manusia tidak dibagi
dari mahluk sosial. Tidak hanya pada bangunan-bangunan kelenteng, istana, juga
bangunan-bangunan tempat tinggal di desa dan di kota, merupakan senyawa yang
berlangsung selama berabad-abad antara pola-pola kosmik dan simbol dari arah
musim, angin dan konstelasi.
Sebagai manifestasi wadah
berinteraksi secara sosial dan spiritual orang Tionghoa memberdayakan
ruang-ruang horisontal sebagai kunci arsitektur mereka. Ruang yang horisontal
ini menentukan proporsi ketinggian bangunan. Walaupun bangunan dua lantai, atau
bahkan pagoda yang tinggi, tetap merupakan bagian dari skala besar horisontal
dimana bangunan teraransir secara harmonis dalam perspektif satu kesatuan
bentuk dengan beberapa bagian lain yang tak terpisahkan.
Maka dari itu untuk memahami
arsitektur Tionghoa tentunya pola pikir kita harus diubah dari dimensi tunggal
sebagai proporsi façade menjadi proporsi yang multi dimensional.
Dalam tradisi Tionghoa kepercayaan akan skala manusia tidak diragukan lagi memiliki hubungan dengan
batasan-batasan alam akan konstruksi kayu dalam hal ini, para ahli bangunan Tionghoa
sangat menyadari dimensi-dimensi standard dan proporsi yang benar.
No comments:
Post a Comment